Langsung ke konten utama

Mengikuti Prosesi Kematian di Gantar Indramayu




Woks

Bagi orang biasa tradisi atau budaya yang berkembang di masyarakat adalah hal biasa. Akan tetapi bagi antropolog, sosiolog atau peneliti etnografi hal-hal yang berkembang di masyarakat adalah aset pengetahuan yang berharga. Salah satu hal menarik yang dipotret dari masyarakat adalah seputar prosesi kematian.

Di masyarakat selain tradisi kelahiran, tasyakuran, khitanan, pernikahan, panen raya, kematian adalah salah satu hal menarik untuk ditulis. Beberapa kesempatan saya pernah mengikuti prosesi kematian yang berkembang di masyarakat khususnya Gantar dan sekitarnya. Di sini prosesi kematian mungkin tak jauh berbeda dengan daerah lain. Akan tetapi ada beberapa hal yang berkembang dan perlu diketahui.

Hal-hal yang dituliskan tentu bukan menjadi pakem utama. Melainkan sebagai sebuah tata cara yang selama ini sudah hidup sekian lama. Selama saya hidup di sini hampir melewati seperempat abad baru kali ini rukun kematian terbentuk. Jadi ada banyak perkembangan yang terjadi di masyarakat salah satunya soal sarana pra sarana berkaitan dengan pemulasaraan jenazah.

Pertama, soal pengumuman kematian seperti pada umumnya yaitu dilakukan di masjid atau mushola terdekat sesuai dengan alamat tempat tinggal.

Kedua, setelah semua keluarga handai taulan berkumpul mereka menyebar menjadi beberapa bagian di antaranya: ibu-ibu bertugas memasak hidangan bagi mereka yang kerja atau jika jenazah nya perempuan akan membantu segala hal kebutuhan untuk jenazah.

Ketiga, setelah semua siap beberapa anak muda dan bapak-bapak akan ke makam untuk menggali liang lahat. Sedangkan yang lainnya persiapan untuk membuat keranda dan memandikan. Khusus di sini keranda dipersiapkan dengan lapis kain baru dan ditutup dengan kain hijau khas bertuliskan "La ilaha ila Allah Muhammadur Rasulullah". Termasuk nisan, rincengan bunga, payung mori, dan papan penutup.

Keempat, setelah lahat sudah siap maka jenazah siap dimandikan lalu dikafani dan dishalati. Di sini saya melihat dimandikan cenderung di akhir menjelang diberangkatkan. Akan tetapi tentu hal itu sesuai dengan kesepakatan dan kondisional. Ketika semua usai barulah jenazah diberangkatkan. Dulu jenazah dimandikan dengan cara dipangku oleh 3 orang ahli waris yang menjulurkan kakinya. Akan tetapi saat ini jenazah sudah cukup diletakkan dalam alat khusus seperti meja/troli mandi.

Kelima, ketika diberangkatkan seperti biasa seorang lebe (modin) akan memintakan kesaksian kepada para ta'jiin tentang kebaikan jenazah. Setelah itu ahli waris akan mengintari bawah keranda selama 3 putaran. Setelah itu sebuah kendi berisi air bunga dipecah atau sebuah tali putih digunting. Hal itu adalah sebuah simbol bahwa kita sudah berbeda alam akan tetapi masih terus bersambung secara ruhii.

Keenam, sesampainya di makam langsung saja ahli waris turun ke liang lahat. Proses ini seperti pada umumnya. Setelah usai dikuburkan barulah lebe (modin) akan berdoa sekaligus mengumumkan tentang kegiatan tahlil di rumah. Di sini ketika berdoa di makam lebe dalam posisi berdiri sedangkan ta'jiin posisi duduk. Setelah itu usai barulah mereka pulang dengan melemparkan sebuah tanah kecil yang telah didoakan tanda perpisahan.

Ketujuh, ada hal menarik di sini yaitu saat prosesi penggalian para pekerja akan mendapatkan amplop (selawat) berisi uang dan makan berupa bekakak ayam (di Jawa dikenal dengan ingkung). Setelah sampai di rumah ahli waris pun akan mempersilahkan kembali para tetangga khususnya untuk makan sedekahan. Di sinilah istilah tasyakuran karena prosesi pemakaman sudah usai. Setelah itu barulah dilaksanakan tahlilan di malam harinya sampai seminggu. Lalu ada peringatan 40 hari, ngratus (100 hari), nyewu (1000 hari) atau mendak.

Demikianlah yang saya dapatkan dari sebuah prosesi kematian di rukun tetangga dekat. Semoga menjadi pengetahuan dan bermanfaat.[]

the woks institute l rumah peradaban 2/1/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...