Langsung ke konten utama

Guru TPQ Kauman Menghantar Zaman




Woks

Suatu kehormatan bagi saya pada pagi 29 Januari 2023 atau bertepatan 7 Rajab 1444 H dapat menghadiri acara Wisuda PGTPQ An Nahdliyah Kauman angkatan 1. Sebenarnya sedikit kaget ternyata yang diwisuda adalah kalangan para guru dalam hal ini berstatus sebagai mahasantri TPQ. Acara wisuda tersebut terselenggara atas inisiasi dari MWC LP Ma'arif NU Kauman.

Bertempat di aula Pedepokan SHT Kecamatan Kauman acara ini setidaknya dihadiri oleh 64 orang wisudawan, pendamping dan beberapa tamu undangan. Kebetulan saya bagian dari TPQ Roudlatul Athfal Mojosari pimpinan Ibu Hj. Roudlatul Jannah. Acara wisuda pagi itu seperti biasa yaitu dimulai pembukaan, pembacaan ayat suci al Qur'an, menyanyikan lagu kebangsaan dan mars subbanul wathan, sambutan-sambutan, prosesi wisuda dan diakhiri doa.

Sambutan pertama Direktur Lembaga Maarif TPQ Tulungagung Bapak Asrori Heru Wahyudi memberikan pesan bahwa para guru harus menetapkan ilmu dan metode sesuai dengan yang dipelajari. Selain itu ilmu adalah hal utama membentuk karakter. Maka para generasi muda selanjutnya ada di tangan para guru tersebut. Sambutan kedua yaitu Bapak Nur Cholis selaku ketua Tanfidziah MWC NU Kauman mengaku bangga, haru dan terimakasih atas terselenggaranya acara wisuda tersebut. Walaupun peserta didominasi kaum sepuh tapi semua tetap semangat.




Sambutan juga datang dari kecamatan sebagai aparatur pemerintah yang berharap para wisudawan untuk segera membuat program kerja. Termasuk berharap agar terus menjadi mitra pemerintah dalam menyebarkan isi kandungan al Qur'an. H. Khozin selaku ketua LP Ma'arif NU Tulungagung juga menegaskan bahwa kita memiliki tugas besar yaitu bagaimana mengqurankan masyarakat. Hal itu pula sesuai dengan penggalan bait mars an Nahdliyah agar menguasai berbagai macam ilmu.

Beliau juga berkisah bahwa perkembangan an Nahdliyah sangat luar biasa. Sebuah metode baca Qur'an yang lahir dari Tulungagung ini juga merupakan kearifan lokal yang perlu dijaga kelestariannya. Jika ada orang bertanya terkait sanad metode an Nahdliyah tentu kita tidak bisa menafikan peran sentral KH. Munawir Kholid (makamnya di selatan kompleks maqbarah KH. Abdul Aziz Pondok MIA). KH. Munawir Kholid sebagai pencipta metode an Nahdliyah memiliki buyut yaitu Kiai Ageng Muhammad Besari Tegalsari Ponorogo. Singkat kisah beliau migrasi ke Blitar sekitar tahun 1800an dan nyantri di beberapa pesantren seperti Lirboyo, Badas, Tebuireng dan at Thahiriyah Mangunsari pimpinan KH. Mujib (ayah Kiai Mujab Mujib). Dari perjalanan panjang itulah akhirnya metode khas dari Kabupaten Tulungagung ini terlahir dan sanadnya sangat jelas.

Terakhir acara ditutup dengan doa yang dipimpin KH. Baidowi selaku rais syuriyah MWC NU Kauman. Sebelum berdoa beliau memberi pengantar bahwa al Qur'an itu luar biasa. Orang bisa tenang dan damai karena bacaan al Qur'an, orang bisa berobat lewat al Qur'an dan orang bisa mulia karena al Qur'an. Yang terpenting adalah al Qur'an tersebut akan mensyafaati pembaca, pengkaji, penjaga, dan yang memperjuangkannya.

the woks institute l rumah peradaban 30/1/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...