Woks
Buku di tangan pembaca ini sengaja dibentuk dalam pdf agar dapat tersebar luas. Sosok Mbah Hasyim memang perlu dikenal oleh khalayak karena betapa besar pelajaran hidup yang dicontohkan beliau. Seperti dalam pengantarnya, KH. Sholahuddin Wahid (Gus Sholah) menyebutkan bahwa di akhir abad XIX pesantren Tebuireng lebih terkenal dari Jombang sebagai nama kabupaten. Tidak hanya itu keberadaan Tebuireng yang telah melahirkan banyak ulama kiai juga berperan besar dalam misi perjuangan. Tidak salah jika era Dai Nippon mencatat ada sekitar 25.000 kiai yang tersebar seantero pulau Jawa dan rerata pernah nyatri di Tebuireng.
Kiprah Mbah Hasyim tentu dikenal luas tidak hanya di dalam negeri tapi juga ke luar negeri. Tak ayal jika banyak kalangan santri menggelari beliau Hadratus Syeikh atau tuan guru/maha guru. Tidak hanya Mbah Hasyim, tentu santri-santrinya pun banyak berkontribusi besar bagi perkembangan dakwah agama dan eksistensi negara. Maka dari itu Gus Sholah (alm) menginginkan jika santri-santri sepuh seperti Mbah Muchith bisa diwawancarai syukur-syukur didokumentasikan berupa buku.
Membaca buku ini kita akan diajak menyelami Mbah Hasyim secara dekat. Lewat Mbah Muchith, sosok Hadratus Syeikh terlihat sangat sederhana dan mengayomi serta toleransinya yang luas. Toleransi dan saling menghormati Mbah Hasyim tentu kita tahu waktu beliau berbeda pendapat dengan KH. Faqih Maskumambang perihal kenthong dan bedhuk. Atau ketika beliau membolehkan keilmuan umum lewat Madrasah Nidzomiyah yang digagas oleh putranya KH. Abdul Wahid Hasyim serta penerimaan santri putri pertama ketika Nyai Khoiriyah Hasyim pulang dari Mekah sepeninggal Kiai Muhaimin.
Dalam hal keilmuan Mbah Hasyim seperti mata air yang dicari oleh setiap penimba. Kealiman beliau terutama pada kitab shohih Bukhari dan Muslim memancar bak cahaya menerangi penjuru negeri. Hal itulah yang mengingatkan kita pada sosok KH. Affandi salah satu santri sepuh yang menunjukkan bahwa banyak ilustrasi foto Mbah Hasyim baik digambar, buku, kalender, stiker dll tidak sesuai dengan faktanya. Selain itu kesaksian KH. Rusmani dari Wonogiri membuat beliau tersentuh haru karena Mbah Hasyim sekedar menjelaskan rukun Islam sudah membuat orang menangis. Karena pemaknaan beliau sangat dalam serta ikhlas membuat menembus ke setiap hati santrinya.
Menurut Mbah Muchith seperti dalam wawancara bahwa Mbah Hasyim itu sosok yang sangat hati-hati. Dalam hal ilmu beliau sangat memperhatikan sanad dari siapa ilmu diperoleh dan sebagainya. Soal produktivitas karya tentu jangan ditanya. Sebagaimana sudah diketahui bahwa Mbah Hasyim banyak menulis kitab yang tentunya kita berhutang jasa pada Gus Ishomuddin Hadziq sang pengumpul sekaligus penyusun karya-karya beliau. Bahkan Mbah Muchith sendiri memiliki satu karya Mbah Hasyim mengenai kitab pernikahan yang tidak banyak diketahui orang.
Selain sosok alim dan pejuang sebagaimana sejarah berbicara, Mbah Hasyim juga seorang ekonom. Mbah Muchith menyaksikan sendiri bahwa Mbah Hasyim mengelola sawah, termasuk setiap pon sore hari beliau ke pasar Jombang untuk menjual kuda. Semua dilakukan beliau agar hidup menjadi mandiri tidak bergantung pada orang lain seperti orang sekarang dengan proposal, ungkap Mbah Muchith. Dalam hal mengimami shalat, Mbah Hasyim selalu istiqomah utamanya ketika shalat shubuh yang membuat Mbah Muchith tidak kuat. Karena pada shalat shubuh Mbah Hasyim rerata membaca 1 juz al Qur'an. Itu juga sebabnya beliau senang baca Qur'an sampai dalam satu kisah beliau mengidamkan mantu yang hafal Al-Qur'an. Setelah beliau wafat ternyata, KH. Yusuf Masyar dari Tuban adalah jawaban dari doa beliau. Dan kini Tebuireng memiliki unit Tahfidzul Qur'an yaitu Pondok Pesantren Madrasatul Qur'an (MQ).
Beberapa hal menarik dari buku tipis ini adalah bahwa kiai itu tidak bisa dibentuk lebih lagi pesantrennya. Misalnya ketika NU mendatangkan tokoh nasional Mangun Sarino di Kaliurang, beliau berkata demikian sekalipun pondok sudah dibangun karena beliau bukan kiai maka lembaga tersebut tidak jalan. (hlm 41-42). Hal menarik lain yaitu soal ta'jir santri seperti yang diilustrasikan dalam film "Sang Kiai" yaitu mencium bokong santri adalah kisah nyata. Tidak hanya itu Mbah Hasyim juga pernah berkata bahwa menikah itu hukumnya mubah bukan sunnah seperti umumnya kiai berfatwa. Alasan Mbah Hasyim sederhana karena menikah itu tergantung niatnya, jika baik maka baiklah pernikahannya jika buruk ya bernilai buruk. (hlm 63). Tentu masih banyak lagi hal menarik lewat buku ini.. Selamat membaca dan selalu bermanfaatlah.
Mbah Muchith Muzadi berpesan, "Wa amma
yanfa’unnas fayamkutsu fil ardl fa ammaz zabadu
fayadzhabu jufa’a". Orang itu kalau
ada manfaatnya tidak akan dibuang.
Judul : Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy'ari di Mata Santrinya
Penulis : M. Mansyur & Fathurrahman Karyadi
Halaman : 86 hlm
Penerbit : Pustaka Tebuireng
ISBN : 978-602-8805-03-2
the woks institute l rumah peradaban 17/1/23
Mantab kang👍👍
BalasHapus