Langsung ke konten utama

Lelaki Harus Menguatkan Akarnya




Woks

Aku tak pernah se rapuh ini
di mana angin tak memihakku dengan berhembus ke tepian

Aku tak pernah se lemah ini
di mana api membakar keangkuhannya
yang membuatnya membara

Aku tak pernah se lelah ini
di mana hujan telah menghapus akal baiknya

Aku tak pernah se sepi ini
di mana bayangan ku pergi menjauh
menjadikannya tiada

Padahal aku tak pernah ingin memiliki tanah air lain selain Engkau

Malam itu aku membuat beberapa bait puisi kecil. Puisi yang menggambarkan kondisi kerapuhan setidaknya untuk malam itu. Entah seperti apa rasanya. Yang jelas ketika mendengar kabar burung tersebut aku langsung lemas. Bagaimana bisa orang baik mendapat penolakan. Tapi setelah itu aku sadar memang bukan orang baik.

Restu orang tua memang hal utama. Dan aku menyadari itu. Tapi bagaimana dengan perasaan anaknya. Itu pula yang aku coba rasakan. Bagaimana pula kisah Qais yang mendamba Laila hingga menyebabkan mereka majnun. Majnun adalah fase di mana mereka manunggal. Mereka sudah tak ada bedanya satu sama lain. Tapi berbeda lagi dengan terhalang restu.

Aku menyadari melepas anak bontot sangatlah berat. Lebih lagi kepada orang yang belum jelas pekerjaannya juga jauh rumahnya. Aku juga sadar bahwa rumah tangga perlu pengukuran, pertimbangan yang matang. Optimisme saja tidak cukup apalagi hanya sekadar angan-angan. Maka dari itu harus ada pembuktian. Dan memang baik saja belum tentu dapat diterima.

Tapi apalah daya bagaimanapun juga penolakan itu menyakitkan. Sakit yang hanya bisa dibatin oleh perasaan mendalam. Bagaimana juga aku harus ingat pesan Jiraiya Sensei bahwa penolakan justru membuat para lelaki semakin kuat. Seharusnya memang begitu. Lelaki harus malu dengan air matanya. Jangan sampai orang lain tahu dia tengah terjatuh. Lelaki cukup diam atau setidaknya merenungi nasib lewat puisi. Beberapa kali pun demikian bahwa sungguh merugi jika tangis tak jadi puisi.

Dalam kondisi ini aku mencoba tegar. Aku harus sadar diri lagi-lagi bahwa semua berada di bawah kehendakNya. Aku hanya bagaimana bersikap dengan bijak. Melihat dunia dengan tetap jernih. Berdiri tegak walau kadang berjalan dengan gontai. Tapi sudahlah semua hal belum berakhir. Ada satu hal yang setia menemani kita hingga kapanpun yaitu doa. Lewat doa Tuhan begitu dekat. Ia tidak kemana. Bahkan kata Rumi, penderitaan justru jalan masuknya cahaya.

Jika sudah terjadi apa mau dikata. Walaupun dalam hati kecil aku ingin mengatakan bahwa kebahagiaan adalah ketika aku dapat memasuki rumah hati mu nan sejuk dan menentramkan.

Tabik,

the woks institute l rumah peradaban 28/1/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...