Langsung ke konten utama

71 Tahun Simbah : Gelombang Spiritual Intelektual




Woko Utoro

Tidak terasa 71 tahun Simbah nunggoni Indonesia dengan segala problematikanya. Usia yang tentunya 8 tahun lebih panjang dari keinginan beliau seperti Kanjeng Nabi Muhammad yaitu 63 tahun. Apapun itu yang jelas kita akan terus berharap untuk kesehatan dan kebermanfaatan Mbah Nun sepanjang usianya. Kita akan membutuhkan Simbah dalam menghadapi berbagai tantangan terkhusus di era distrupsi yang serba tidak menentu.

Jika bicara Simbah tentu tak akan berkesudahan. Kita belum akan menemukan tanda titik. Terlebih atas apa yang Simbah lakukan lebih dari 35 tahun lamanya. Dari waktu ke waktu itu tentu banyak orang merasa berterimakasih atas dedikasi Simbah yang tak ada habisnya. Mereka bersyukur kepada Allah atas anugerah menitipkan Simbah buat Indonesia. Terlepas atas segala kontroversinya yang jelas Simbah telah memberi warna di kehidupan kita. Bahkan tidak hanya warna, Simbah juga menanam, merawat dan menumbuhkan atas nikmat Allah yaitu akal.

Entah sampai kapan. Entah berhasil atau tidak. Yang jelas kata Imam Budi Santoso, Mbah Nun fungsinya hanya penggembala. Urusan berhasil atau tidak dan apa hasilnya itu urusan Tuhan. Tugas penggembala adalah menjaga, merawat dan memastikan jika gembalaan tidak chaos oleh binatang buas atau mati. Mas Sabrang juga demikian, Simbah adalah pengumpul orang-orang yang resah. Simbah mengajak mereka yang tersingkir secara intelektual, yang kalah secara ekonomi apalagi jabatan. Simbah mengajak kita bersama untuk duduk, bersila, jagongan, saling curhat dan menguatkan.

Inilah fenomena menarik dari Simbah. Fenomena atas segala warisan yang telah dibangun beliau bersama Kiai Kanjeng dan Maiyah-nya. Sebuah forum yang memancarkan gelombang untuk kita bersama memikirkan nasib Indonesia. Entah diyakini atau tidak tapi faktanya ada bahwa lewat Simbah dan Maiyah orang-orang terhubung. Mereka terhubung sebelum atau sesudah kenal dengan Simbah. Yang jelas orang-orang terhubung lewat tulisan, nama, pemikiran atau bertemu langsung.

Kata mayoritas orang Simbah orangnya ikhlas. Simbah tulus dalam membersamai arek-arek. Sehingga dari ketulus dan ikhlasan beliau energi positif terpancar jauh. Simbah memberi gelombang resonansi yang berbunyi nyaring, sedap dan merdu. Simbah memantulkan gelombang khususnya spiritual intelektual yang dibungkus cinta dan kegembiraan. Gelombang yang dalam bahasa Mas Sabrang bisa membuat tawa jadi tangis atau tangis jadi tawa. Itulah Simbah yang barangkali lewat suaranya gelombang itu merasuk ke setiap sanubari.

Simbah itu istimewa. Simbah itu berharga. Maka kata Habib Husein Ja'far al Haddar ada atau tidaknya Mbah Nun orang akan tetap datang ke Maiyah. Jika pun Mbah Nun ada mereka datang bukan karena sosoknya. Jika pun Mbah Nun tidak ada mereka tetap datang karena pesan beliau sendiri untuk hadir atas kebermanfaatan dari orang lain. Jadi jelas Simbah telah membuat pondasi kokoh buat jamaahnya.

Simbah tidak lelah keliling untuk membersamai kita. Seolah-olah beliau tak pernah kehabisan energi untuk berbagi kepada sesama. Lewat forumnya itu orang merasa nyaman, mereka dibangkitkan spirit perjuangannya. Mereka dikuatkan kepercayaan dirinya. Mereka dipeluk di saat rapuh. Mereka tidak sendiri dan kita memang harus terus bersama. Inilah warisan Simbah yang beliau transmisikan dari inspirator agung Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Kata Nabi, sebesar apapun masalahmu selalu lah bersama. Maiyah itulah forum kebersamaan.

Terakhir kita memang masih terus membutuhkan lebih banyak episode untuk selalu bersama Simbah. Untuk terus mencintai keragaman dengan riang gembira. Untuk mencintai takdir Allah lewat kekasihnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Untuk melupakan sejenak kefanaan dunia yang lebih banyak menipu. Untuk terus kuat, menguatkan dari segala kebohongan dan kemunafikan. Serta untuk banyak hal yang semua di luar kendali manusia. Terlebih untuk wushul kepada Allah SWT.

*Sugeng tanggap warsa Mbah Nun kaping 71. Berkah, wilujeng, rahayu. Al Fatihah.

the woks institute l rumah peradaban 27/5/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...