Langsung ke konten utama

Jihad Di Ujung Pena




Woko Utoro

Habib Husein Ja'far al Haddar tempo hari mengatakan bahwa model dakwah terus bertransformasi mengikuti medianya. Tentu seperti yang telah diketahui bahwa media digital adalah lapangan terbuka yang siapa saja dapat memasukinya. Tidak hanya dakwah tentu berbagai kepentingan melebur di sana bahkan seperti tanpa terbendung.

Apa yang disampaikan Habib Ja'far (sapaan akrabnya) juga merupakan medan jihad. Maka jihad itu tidak melulu angkat senjata di medan perang. Melainkan perang wacana dan pikiran merupakan medan jihad yang tak kalah mengkhawatirkan. Di sinilah peran-peran strategis khususnya dari para santri harus turut serta membendung arus balik. Saya sebagai santri kecil di pondok pesantren juga turut serta istilahnya jihad bil medsos.

Saya dan mungkin sebagian orang yang bergelut di bidang jurnalistik tentu merasa terpanggil. Arus digital yang deras serta media sosial yang mayoritas dimiliki setiap orang perlu adanya social control. Dalam artian perlu diwarnai dengan konten-konten positif dan menyejukkan. Karena dewasa ini kita tahu media sosial masih dipenuhi konten-konten toxic, digital cyber crime, fake news, hoax news hingga pelecehan seksual. Dari itulah saya berandai-andai jika menjadi seorang jurnalis akan turut menyemai konten-konten kontranarasi terhadap fenomena keruh di media digital.

Salah satu hal yang ingin saya lakukan adalah dengan belajar menulis. Tulisan seperti sebagian orang yakini akan berdampak besar bagi pembaca. Terlebih tulisan bercorak pesantren harus diarusutamakan. Sehingga anggapan pesantren itu udik, ndeso harus segera dihapuskan dari konstruksi pikiran masyarakat. Pesantren harus tampil adaptif terhadap fenomena masyarakat digital yang masif. Pesantren perlu mencetak tidak hanya santri mengaji tapi mengkaji perubahan secara lebih kontekstual.

Santri harus didorong melek literasi agar medan dakwah dapat dikuasai. Ladang dakwah digital yang luas ini mengharuskan santri turut berjihad dalam artian perang wacana. Hal itulah yang selalu didorong oleh banyak tokoh kita seperti KH Said Aqil Siradj, Gus Yahya hingga Gus Ulil. Bahkan budayawan Emha Ainun Najib berkeliling dari desa ke kota lewat Maiyah salah satu kampanye utamanya yaitu kuasai teknologi. Sebab jihad di ranah digital juga tak kalah pentingnya.

Terakhir bagi santri pegiat jurnalistik tentu perlu penguat berupa rajin membaca, berdiskusi dan berjejaring. Dengan membaca santri akan semakin kaya wacana. Dengan diskusi pemikiran terus diasah dan makin teruji. Serta lewat jejaring kita tahu bahwa dunia perlu dirayakan dengan kebersamaan. Kata Mbah Wahab Chasbullah tak ada senjata yang lebih tajam dan sempurna selain persatuan. Mari bersatu, saya dan kita semua memiliki cita-cita bersama untuk memenangi peperangan di dunia digital.[]

the woks institute l rumah peradaban 20/5/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...