Langsung ke konten utama

Pendidikan Kesadaran (1)




Woko Utoro

Sudah beberapa kali saya geram kepada teman sendiri di pondok. Pasalnya mereka tidak kunjung memiliki kesadaran akan hak dan kewajiban. Tentu di kasus ini adalah soal ibadah dan kebersihan. Saya tidak tahu mengapa anak yang lahir tahun 2000 ke atas memiliki pola sama yaitu kurang peka.

Saya hampir bosan bagaimana cara mengingatkan dengan efektif. Padahal dulu saya dibekali ilmu kepemimpinan oleh guru di saat SMA. Kata guru saya coba contohkan dan biarkan mereka melihat. Setelah itu contohkan dan ajak mereka membantu. Setelah itu baru biarkan mereka mengerjakan sambil kita turut membantu. Setelah itu barulah mereka mengerjakan dan kita tinggal melihat. Perasaan saya semua fase itu sudah dilewati tapi tetap saja masih belum menimbulkan kepekaan.

Tentu peka saja tidak cukup. Ada yang lebih tinggi dari sekadar peka yaitu kesadaran. Tapi kadangkala kesadaran sudah dimiliki namun kalah oleh kemalasan. Di sinilah barangkali mengapa kesadaran anak-anak sekarang menurun. Setidaknya saya menemukan dua faktor mengapa kesadaran menurun yaitu: terjadinya distraksi akibat distrupsi teknologi. Anak-anak telah dikuasai oleh media setengah dari seutuhnya diri. Akibatnya kesadaran mereka lambat laun melemah dan menjadi minim kepekaan. Kedua, kurangnya dorongan dalam diri untuk menguasai ego serta terjebak emosi negatif.

Setidaknya dari dua faktor tersebut kita menjadi tahu mengapa membangkitkan kesadaran itu sangat penting. Terlebih ketika hidup berkoloni di pondok pesantren. Kehidupan yang seharusnya dibangun atas dasar berkesadaran untuk saling mengingatkan, kerjasama dan memahami. Kita mestinya tahu bahwa shalat adalah kewajiban dan kebersihan adalah anjuran agama. Maka seharusnya menjadi premis agar seseorang peka dan berkesadaran untuk melakukannya.

Tapi selama ini yang membuat saya sedih adalah ketika semua berjalan statis, jegrek, diam di tempat. Seolah-olah nasihat tak lagi keramat, petuah hanya didengar sesaat. Padahal semua petuah dan nasehat keluar dari lisan pengasuh. Entah di mana letak kesalahannya. Saya sendiri bingung menghadapi satu kondisi yang tidak menguntungkan. Jika kesadaran memerlukan waktu lantas kapan kondisi itu tiba. Seakan-akan kesadaran itu memang mahal harganya.

Di sinilah rasanya pendidikan kesadaran perlu diterapkan. Terlebih di lembaga seperti pondok pesantren kesadaran aplikatif tentu merupakan salah satu output yang harus ada di jiwa santri. Santri harus sadar akan lingkungan dengan segala keragamannya. Termasuk ketika seseorang melihat lantai kotor bagaimana mereka meresponnya. Ketika ada orang kesusahan seperti apa cara menolongnya. Atau ibadah wajib bagaimana melaksanakannya. Semua itu kembali pada diri sendiri mau atau tidak. Sadar atau tenggelam. Tuhan memberi perangkat canggih untuk memilih. Maka orang berakal pasti akan memilih di pihak kebaikan.

the woks institute l rumah peradaban 31/5/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...