Langsung ke konten utama

Catatan Silaturahmi: Setiap Hal Bisa Jadi Tulisan




Woko Utoro

Penulis itu pembaca. Kutipan tersebut suatu saat akan melegenda. Pasalnya jelas bahwa seorang penulis juga seorang pembaca. Prof Naim sering dawuh demikian bahwa tanpa tradisi membaca yang baik kita akan kesulitan menulis. Apa yang mau ditulis jika kita tidak suka membaca. Hal itu sama seperti seorang guru menyuruh siswanya membaca buku sedangkan sang guru tidak suka membaca. Zonk.

Jika sudah masuk persoalan membaca jangan dianggap remeh. Ini serius. Karena membaca adalah berkaitan dengan budaya. Kalau tidak suka membaca jangan bicara terkait literasi dan bacaan memang merupakan indikator kemajuan suatu bangsa. Tidak salah jika wahyu pertama umat Islam adalah perintah membaca. Jadi jika ingin maju kuasai pengetahuan. Salah satu cara mendapatkan pengetahuan ya lewat membaca. Setelah itu awetkan bacaan dengan menuliskannya.

Sebenarnya soal menulis itu bukan perkara sulit. Menulis itu soal kemauan dan komitmen. Dua keyword tersebut sering disebutkan berulangkali tanda bahwa menulis itu mudah. Asal kita mau apapun bisa ditulis. Dunia ini dinamis dan banyak hal tercecer yang bisa kita pungut inspirasinya. Maka tidak ada alasan untuk kita menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan.

Salah satu hal mengapa kita tak akan kehabisan ide menulis adalah dengan mencatat ikhwal keseharian. Misalnya Prof Naim mencontohkan jika beliau memiliki teman penulis yang unik. Teman Prof Naim bisa menulis apa saja bahkan dari hal sederhana. Di hadapan teman beliau semua bisa jadi tulisan. Bahkan tulisan tersebut banyak mengandung pelajaran dan humor. Misalnya menulis tentang aktivitas istrinya, memilih baju, menunggu ojol, ketika naik bus hingga menemani anak bermain. Intinya semua hal bisa ditulis. Selama tidak menyinggung atau merugikan orang tulis saja dan mulailah percaya diri.

Kata Prof Naim hal tersulit dari menulis sebenarnya bukan karena ketiadaan ide. Melainkan ketidakmampuan kita untuk komitmen, meluangkan waktu dan kurangnya perhatian terhadap proses. Kita lebih sering insecure, tidak PD, khawatir, was-was, takut dan selalu berdalih. Kita lebih sering berekspektasi tinggi sedangkan nol aksi. Soal menulis itu sebenarnya sederhana kuncinya kita mau atau tidak. Jika mau pasti bisa. Kunci terakhir adalah mulai dari sekarang dan tunggu apalagi. Seribu motivator didatangkan pun kesimpulannya satu yaitu : jangan tunggu nanti, mulai sekarang juga.[]

the woks institute l rumah peradaban 8/5/24

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...