Langsung ke konten utama

Zoominar NU Online Edisi Teknik Reportase




Woko Utoro

Alhamdulillah saya masih mengikuti pertemuan kedua di acara diklat jurnalistik bersama redaktur NU Online. Pada pertemuan kedua ini Teh Indi selaku host memperkenalkan Kepala Madrasah kelas jurnalistik NU Online yaitu Pak Fatoni. Sedangkan narasumber pertemuan kedua ini adalah Bang Aru Elgete alias Lego Triono.

Dalam sambutannya Pak Fatoni menjelaskan bahwa kompetensi jurnalistik sangatlah penting dimiliki. Oleh karena itu ikutilah kelas dengan sungguh-sungguh. Sebab era digital ini terjadi distrupsi dalam berbagai bidang. Kita tidak bisa menebak perubahannya. Karena memang bergerak begitu cepat salah satunya keberadaan kecerdasan buatan atau AI. Akan tetapi kata Pak Fatoni salah satu kelemahan AI khususnya di bidang pemberitaan adalah tidak mampu menangkap isu, peristiwa dan emosi objeknya. Maka pesan beliau ayo tularkan energi positif di bidang jurnalistik ini.

Setelah sambutan Kepala Madrasah barulah acara inti dimulai. Bang Aru menjelaskan panjang lebar mengenai teknik reportase. Kata Bang Aru teknik reportase terdiri dari 3 cara yaitu wawancara, riset dan observasi. Dari wawancara kita diminta mengembangkan tanya terkhusus why dan how. Pada riset seorang jurnalis agar tidak terjebak jurnalisme abab (omon-omon) maka diperlukan riset. Walaupun riset hanya bersifat pendukung tapi hal itu sangat penting. Sedangkan teknik observasi lebih menekankan pada kemampuan mendayagunakan seluruh panca indera.

Sebenarnya Bang Aru menjelaskan panjang lebar mengenai teknik reportase akan tetapi karena rahasia perusahaan maka saya tidak menuliskan lengkap di sini. Saya hanya ingin menggarisbawahi bahwa pekerjaan seorang jurnalis itu membutuhkan keterampilan khusus. Misalnya bagaimana mereka menyiapkan guide wawancara, menemui narasumber, mewawancarai, mengkonfirmasi, riset, observasi, editing hingga publikasi. Semua hal berkaitan dengan informasi dan berita harus menjadi catatan khusus oleh sang jurnalis. Terlebih tipe jurnalisme investigasi.

Terakhir seperti biasa di akhir sesi kita akan mendapat tugas untuk dikerjakan dan dikumpulkan melalui Google Classroom. Setelah itu tugas akan diberi penilaian oleh masing-masing wali kelas. Pesan Bang Aru seperti halnya wali kelas kami Abah Alwi bahwa seorang jurnalis harus selalu ingat tentang etika jurnalistik. Etika itulah yang akan memandu kita selama di lapangan baik dalam peliputan maupun wawancara khusus dengan narasumber.[]

the woks institute l rumah peradaban 25/5/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...