Langsung ke konten utama

Apakah Puasa Masih Dirindukan Pasca Kepergiannya




Woko Utoro

Jika bicara puasa pasti akan melahirkan polarisasi ada yang menyambut bahagia dan ada yang terasa jadi beban. Perasaan itu bisa kita lihat pasca kepergian Ramadhan. Orang-orang kembali ke settingan awal yaitu menjadi manusia yang sibuk diburu waktu. Tapi tentu statement saya akan tidak terbukti jika orang-orang sadar bahwa Allah SWT selalu menyelipkan puasa dalam detik waktunya.

Puasa selalu hadir sekalipun yang wajib di bulan Ramadhan telah pergi. Puasa sunnah harian seperti Senin Kamis dan puasa Daud masih setia di antara kita. Atau bahkan kini puasa 6 hari di bulan Syawal menunggu kita untuk tidak segera gembira karena Ramadhan telah berpisah. Kita juga tak usah khawatir puasa setiap pertengahan bulan 13,14, 15 hingga hari-hari tertentu seperti Tasu'a, Asyura, Arafah, Rajab dll juga selalu setia hadir buat kita. Hanya saja kita sadar atau tidak mengapa puasa selalu hadir dalam aktivitas harian manusia.

Pertama kita sadar seperti kata Eric Fromm bahwa manusia modern mudah terasing alias teralienasi. Sehingga manusia membutuhkan satu kondisi agar mereka mengenal dirinya sendiri. Baudrillard juga mengkonfirmasi jika manusia modern sangatlah konsumeris. Mereka mudah terjebak oleh keinginan sesaat yang bersifat manipulatif. Sehingga dari itu manusia membutuhkan satu waktu untuk menahan, mengendalikan dan memanage nafsu.

Puasa seperti kita tahu adalah bentuk pengendalian diri. Imam Ghazali mengingatkan bahwa puasa sebagai sarana mengontrol amarah terutama nafsu hayawan. Sebagai mahluk berpikir tentu puasa seharusnya menjadi alat agar kita tak lupa diri. Sehingga tidak salah jika ritual ini selalu hadir sepanjang waktu. Yang terberat dari puasa fisik tidak makan dan minum yaitu puasa batin. Puasa atas hal-hal buruk yang mudah kita alamatkan pada liyan. Padahal jelas kemampuan berpuasa mendidik kita agar menjadi manusia bertakwa.[]

the woks institute l rumah peradaban 6/4/25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...