Langsung ke konten utama

Mengenang Pamit




Woko Utoro

Saya atau mungkin anda punya pengalaman tersendiri seputar pamit. Sebuah kata yang bukan soal istimewa atau rasa haru melainkan perasaan yang tak bisa dimengerti. Pamit bukan sekadar minta izin atau wakil atas etika kesopanan. Melainkan sebuah kesadaran akan kedaulatan perasaan dan waktu.

Saya mengenang beberapa momen pamit yang begitu menyentuh hati. Yang sebenarnya banyak momen pamit pernah saya lalui. Akan tetapi dalam tulisan ini saya akan mengenangnya tiga saja.

Pertama, saat bapak kerja ke Banten mungkin sekitar tahun 2005 an. Pada saat itu saya kelas 4 SD. Sepulang dari acara perkemahan. Saat fisik benar-benar lelah. Saya mengetuk pintu dan ibu langsung menyambut. Tanpa berlama-lama ibu langsung mengabari bahwa bapak pamit untuk bekerja ke Banten. Di usia saya sebagai anak SD polos tentu pamit itu jadi hal biasa saja. Tapi beberapa menit setelah itu saya menangis terisak.

Saya menggugat ibu, mengapa bapak setega itu. Mengapa bapak pamit terlalu dini. Mengapa bapak tidak menunggu saya pulang. Mengapa pamit harus diwakilkan pada ibu. Saya benar-benar kecewa pada saat itu. Di tengah tangis yang menderu ibu datang dan menenangkan saya. Kata ibu apa yang dilakukan bapak toh pada akhirnya untuk kita juga.

Saya pun terdiam dan langsung mengajukan syarat agar sepulang nya bapak wajib membawakan hadiah untuk saya. Saya meminta bapak membawa hadiah radio walk man . Dan benar saja radio itu bapak bawa ketika beliau pulang tapi sayang kondisinya bekas.

Kedua, saat saya pertama kali ke Tulungagung tahun 2015. Di sini momen pamit paling sesak yang masih saya ingat. Pada saat itu saya tidak bisa membayangkan perasaan ibu. Bagaimana beliau ditinggal anak mbarep yang hampir 19 tahun mengisi ruang-ruang sunyi. Tapi walaupun berat akhirnya saya pun pamit ke beliau untuk menimba ilmu.

Di momen ini saya jadi mengerti arti pelukan dan kehangatan dari orang tua. Andai jika saya tidak pamit di momen itu hingga hari ini tak akan mengerti arti pelukan, mudik dan memanen rindu. Sungguh pamit menjadi perantau adalah cara bagaimana kita mengerti perasaan satu sama lain.

Ketiga, seorang teman aktivis pamit ke saya jika dia akan melangsungkan akad dalam waktu dekat ini. Saya sedikit kaget bukan karena dia seorang aktivis. Tapi mengapa ia yang gondrong dan kritis itu masih sempat pamit ke saya. Biasanya seorang semacam dia lupa atau tak sempat pamit apalagi urusan naik pelaminan. Tapi dari hal itu saya merasa haru dan belajar bahwa kadang pamit itu penting. Bahwa pamit bukan soal etika tapi soal menyentuh batin kita terdalam.[]

the woks institute l rumah peradaban 9/4/25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...