Langsung ke konten utama

Berjuang : Intisari Kehidupan





"Jika sudah terbiasa berjuang mengapa berharap ada imbalan"- Woks

Woko Utoro

Kata pembuka dalam tanda petik tersebut adalah intisari ketika kami sowan ke ndalem Ibu Hj. Raudlatul Jannah Mojosari. Kebetulan saya, Muhibb dan Lutfi sudah lama tak berkunjung ke rumah beliau. Mungkin terakhir adalah setahun yang lalu. Akhirnya malam Minggu kemarin kami pun bisa sowan ke rumah beliau dan melepas rindu.

Ketika di sana seperti biasa kami langsung disuguhkan dengan jajanan. Kebetulan kali ini beliau memiliki usaha rumahan berupa produk Bolen Bunda. Selain itu tentu yang khas adalah wedjangan berkedok diskusi. Sebenarnya kami hanya silaturahmi dan meminta doa. Tapi tentu hal itu bisa menjadi lebih terutama ketika beliau mulai membuka perbincangan. Pastinya banyak ilmu yang bisa kami dapatkan. Sebab selain beliau orang berpengalaman juga sudah menganggap kami anak.

Bagi saya dianggap anak di kota rantau adalah hal luar biasa. Seolah hati kami disentuh secara emosional bahwa antara anak dan ibu tak bisa dipisahkan. Benar saja seperti dahulu kami tak pernah canggung untuk selalu berbagi cerita. Salah satu cerita itu adalah berkaitan dengan tema perjuangan. Berjuang untuk Al Qur'an, NU dan gerakan sosial di masyarakat.

Beliau yang juga guru madin di UIN SATU Tulungagung sudah kami kenal lama. Saat dulu hingga kini kita tak ada yang berbeda terutama ketika berbagi tawa. Beberapa hal yang saya catat dari pertemuan malam itu adalah bahwa orang berjuang untuk agama itu tidak mudah. Selalu ada saja hal yang membuat kita putus asa. Karena jelas bahwa keberhasilan dan kegagalan itu sangat tipis. Tinggal bagaimana langkah teguh kita. Apakah masih tetap berdiri, maju atau tidak sama sekali.

Kata Bu Raudhah berjuang untuk agama tentu tidak mudah. Ada beragam hal yang perlu kita korbankan bahkan torok alias mengeluarkan biaya. Tapi bagi seorang pejuang dengan yakin semua akan dibalas oleh Allah SWT. Ibarat pepatah sopo seng nandhur bakale panen, siapa yang menanam pasti akan menuai. Terlebih berjuang untuk agama dan Al Qur'an yang membutuhkan waktu lama. Setidaknya kita pernah di jalan di mana pejuang akan hidup terhormat.

Perjuangan tersebut bukan soal ilmu dan agama tapi juga nafkah. Bagi seorang suami terhadap istri dan keluarga perjuangan ekonomi juga tak kalah pentingnya. Maka dari itu kata Bu Raudhah, mumpung masih muda berjuanglah untuk hari esok lebih baik.

Perlu diingat bahwa tidak semua orang mengerti arti berjuang. Sehingga kita perlu untuk memiliki prinsip bahwa berjuang itu jangan mengharap sesuatu. Berjuang ya berjuang saja biarkan Allah SWT yang akan merubah semua. Karena manusia hanya diperintahkan berproses bukan berpikir hasil. Inilah yang disebut manusia bertakwa, berjuang untuk umat dan agama.[]

the woks institute l rumah peradaban 20/4/25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...