Langsung ke konten utama

Tradisi Lebaran di Tiga Kota





Woko Utoro

Tradisi lebaran sejak dulu memang unik. Bahkan keunikannya tak ada habisnya hingga kini. Salah satunya tradisi saat halal bi halal atau dayoh ke beberapa tetangga dan saudara. Keunikan tersebut saya rasakan ketika hidup di 3 kota yaitu Indramayu, Tulungagung dan Magelang.

Kebetulan saya lahir di Dampit Windusari Magelang sedangkan di Indramayu adalah masa remaja dan di Tulungagung sebagai masa pendidikan dewasa awal. Sebagai orang yang pernah hidup di 3 kota tersebut tentu saya menyaksikan sebagai antropolog lokal bagaimana cara berlebaran di sana.

Pertama, jika di Indramayu lebaran itu nampak sederhana. Yaitu setelah shalat ied biasanya sebelum dan sesudah itu kita akan makan ketupat plus menu opornya. Setelah usai shalat sepanjang perjalanan kami saling bersalam-salaman. Di sini halal bi halal begitu singkat terutama di hari pertama tersebut. Biasanya baik hari pertama atau kedua orang-orang sudah berhamburan untuk nyekar ke makam keluarga. Setelah hari ke-3 orang-orang hidup normal seperti sedia kala.

Akan tetapi tradisi saling berlebaran alias salam-salaman masih berlanjut tak dibatasi waktu dan tempat. Orang bisa bersalaman di manapun selama itu masih momen lebaran.

Kedua, lebaran di Tulungagung khususnya di daerah Plosokandang dan sekitarnya. Saya merasakan sendiri atmosfer di sana begitu khas. Berbeda dengan di Indramayu, di sini setelah bersalaman dengan keluarga biasanya kita langsung nglencer (keliling) dari yang terdekat dan terjauh. Di sini bahkan sudah dikenal istilah open house atau buka lawang (pintu). Pokok selama pintu terbuka maka si empunya rumah mempersilahkan siapa saja masuk.

Di sinilah terjadi saling bermaafan terutama tetangga dan saudara. Tak lupa kita juga dipersilahkan untuk mencicipi jajanan khas lebaran di rodong-rodong (toples) yang sudah tersedia. Akan tetapi kita tidak bisa berlama-lama sebab akan ada giliran dari orang lain yang akan memasuki rumah tersebut.

Ketiga, lebaran di Magelang lebih canggih lagi. Di sini melengkapi dua kota sebelumnya yaitu Indramayu dan Tulungagung. Jika di Magelang orang lebaran itu tradisi saling berkunjung, halal bi halal antara yang muda ke yang tua. Dalam arti yang sepuh akan dikunjungi. Sedangkan momen saparan (bulan safar) adalah kunjungan bebas tanpa kenal strata usia.

Di momen Idul Fitri inilah istilahnya Kunjung atau saling bersilaturahmi memohon maaf. Di sinilah orang-orang datang memohon maaf kepada yang sepuh. Tak lupa pula selain mencicipi jajanan khas di sini wajib madang alias makan. Walaupun makan hanya sedikit bagi orang Magelang adalah hal wajib. Karena jika tidak makan maka dianggap tidak menghargai dan si tuan rumah akan marah. Sesudah makan maka orang boleh meninggalkan tempat. Maka dari itu di Magelang lebaran tak berkesudahan bahkan hampir satu bulan lamanya.

Demikianlah cacatan singkat momen lebaran yang pernah saya rasakan dari 3 kota tersebut. Semoga saya bisa menikmati sajian lebaran di kota yang baru, umpamane di kampung halamannya istri hehe.[]

the woks institute l rumah peradaban 3/4/25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...