Woko Utoro
Di tahun 2019 pertengahan saya sempat memiliki rambut gondrong. Alasannya sederhana, saya hanya ingin tampil beda. Awal mulanya dulu saya nadzar jika rambut ini akan dipangkas ketika lulus sidang skripsi. Mungkin proses menggondrongkan diri tersebut sekitar 3 bulan sebelum sidang skripsi.
Alasan lain saya gondrong adalah terinspirasi dari lagu Jomblo Hina karya SMVLL. Salah satu lagi favorit kami ketika hidup benar-benar hancur. Pada saat itu saya bukan hancur karena patah hati. Tapi lebih tepatnya terkena php dari ketua jurusan Tasawuf Psikoterapi. Saya tidak ingin sebut nama beliau dalam tulisan ini. Hanya saja jika ingat momen tersebut hatinya rasanya remuk.
Intinya momen itu membuat saya down. Karena sidang skripsi tidak jadi dilaksanakan di semester 7. Padahal saat itu saya mengerjakan skripsi siang malam bahkan sering lembur. Selain itu awalnya saya dijanjikan sebelum semester 8 semua proses akademik selesai dan ternyata gagal. Hingga akhirnya menepi dan menggondrongkan diri adalah pilihan yang saya ambil saat itu.
Selain itu rambut gondrong adalah sensasi tersendiri. Bahkan di luar dugaan seorang teman memberi tahu saya bahwa spiritualitas bisa dilihat dari orang berambut gondrong. Teman saya itu bahkan memberikan dalil jika rambut gondrong dan memelihara jenggot bisa begitu wibawa di depan musuh di medan perang di jaman Nabi.
Selanjutnya rambut gondrong bagi saya adalah jawaban atas sangkaan orang. Soalnya selama ini saya dianggap alim, anak pendiam dan lucu. Sehingga dari itu saya coba bagaimana sikap dan pandangan teman-teman ketika saya berambut gondrong. Ternyata di luar dugaan lagi. Teman-teman justru menganggap saya seperti seorang sufi yang sedang menyamar. Padahal jawaban itu bukan yang saya harapkan.
Masih tentang alasan berambut gondrong adalah merasakan apa yang pernah dirasakan mahasiswa gondrong pada umumnya. Terkhusus di Fakultas Ushuluddin saat itu mahasiswa rambut gondrong terlihat garang. Maka dari itu saya hanya mencoba apakah diri ini cocok berambut gondrong. Menurut Buya Nurshamad Kamba yang saat itu pernah berkunjung ke jurusan kami melihat rambut gondrong saya sebagai penyair tuna wisma. Dan kami pun terkekeh tertawa mendengar ini.
Saya juga menyelami stereotip yang berkembang di masyarakat bahwa rambut gondrong indentik anak nakal dan urakan. Padahal keshalehan tidak diukur dari gaya rambut. Banyak orang rambut klimis dan necis ternyata koruptor. Jadi dari itu kita sering tidak adil terhadap jenis gaya rambut terutama gondrong. Bahkan di Dieng Jawa Tengah, anak rambut gimbal dianggap membawa sial dan harus dipotong.
Jika kita tarik sejarah ternyata stigma rambut gondrong sudah ada sejak era Soekarno. Puncak dari stigma itu terutama di era orde baru. Di era ini orang berambut gondrong dianggap urakan dan suka melawan. Orang gondrong sering tidak disiplin dan sulit dikontrol. Akhirnya pendisiplinan dimulai dari gaya rambut dan sekolah menjadi tempat yang subur bagi pendisiplinan tersebut. Seperti kita tahu di sekolah anak berambut gondrong dianggap tidak patuh aturan. Bahkan hingga kini rambut gondrong selalu dicurigai sebagai manusia tak tahu aturan.
Dari beragam stigma tersebut akhirnya saya mencoba bagaimana sensasi berambut gondrong. Dan akhirnya benar saja seperti yang orang katakan rambut gondrong indentik dengan perlawanan. Maka saya mencoba melawan setidaknya lewat gaya rambut sendiri.[]
the woks institute l rumah peradaban 25/4/25

Komentar
Posting Komentar