Woko Utoro
Pada 28 April 2025 kemarin kita memperingati Hari Puisi Nasional. Sebuah momen yang bersejarah sekaligus cara mengingatkan bangsa tentang kekuatan kata-kata. Hari tersebut kita tidak sekadar mengingat kematian Chairil Anwar. Tapi kita ingat tentang karya, perjuangan serta peninggalan dari seorang pujangga pelopor angkatan 45.
Di Hari Puisi kita tidak hanya mengenang Chairil Si Binatang Jalang. Tapi mengenang arti bahasa yang bebas tanpa aturan baku. Walaupun disadari bahwa bahasa bisa mengandung unsur politik tertentu. Tapi kendati begitu bahasa menyesuaikan dengan penuturnya. Termasuk media puisi sebagai metode penyampaiannya.
Di momen Hari Puisi kita diingatkan secara lebih umum sastra untuk terus dilestarikan. Karena melestarikan sastra bukan seolah mengolah kata menjadi puisi, cerpen atau novel. Tapi menentukan nasib bangsa selanjutnya. Kata Pak Sapardi, sastra bukan soal menyusun kata menjadi indah tapi memastikan bahasa tetap terjaga. Artinya bahwa bahasa tetap santun di tangan penuturnya.
Pak Sapardi tidak ingin orang-orang mudah emosional dan bahasa jadi spektrumnya. Sehingga untuk memastikan kelembutan jiwa orang harus dijejali sastra sejak dini. Jika pun fungsi sastra menjadi perlawanan ala Wiji Thukul atau kritik ala Seno Gumira Ajidarma tapi itu soal lain. Setidaknya kita masih meyakini jika spektrum bahasa dalam sastra terutama puisi masih sangat relevan hingga kini.
Sastra dan puisi masih bertaji untuk mengatakan fakta. Memang selama ini puisi masih menjadi alat kejujuran yang bisa kita percaya. Bahkan sekalipun puisi perlawanan toh ia masih di ranah kata. Selama bukan aksi maka bahasa bukan anarki. Tapi dewasa ini terutama penguasa masih ketakutan akan kekuatan kata-kata.
Maka dari itu andai saja Hari Puisi atau Sastra dimaknai oleh semua lapisan masyarakat. Kita dapat memastikan peradaban bangsa ini akan terus hidup. Karena seperti kita tahu sastra adalah pengawal setia kebudayaan tutur kata. Dari sastra kita belajar tentang identitas asli manusia yaitu bahasa. Dengan bahasa itulah masyarakat memiliki nilai atau justru amoral. Bahwa bahasa bisa berfungsi sebagai kontrol sosial. Tak ada yang dapat kita pahami selain bahasa santun dan keluar dari penutur yang mengerti akar kebudayaannya.[]
the woks institute l rumah peradaban 30/4/25
Komentar
Posting Komentar