Langsung ke konten utama

Menginsyafi Media Sosial Merayakan Ngaji




Woko Utoro

Penyebaran informasi melalui media sosial sungguh luar biasa. Seperti saat ini siapa yang tak memiliki media sosial (medsos) dari tukang ngarit sampai pejabat semua bermedsos. Tapi jika bicara penggunaan medsos dengan bijak sepertinya belum merata. Medsos masih lahan basah terhadap hal-hal berbau negatif. Medsos masih belum dirayakan sebagai sarana belajar salah satunya ngaji.

Padahal jika merujuk teori strukturasi Anthony Giddens menyebutkan jika peran aktor atau agen menjadi kunci terutama dalam penggunaan medsos. Giddens menyatakan bahwa individu bisa memahami antara struktur dan tindakan. Oleh karena itu sebenarnya medsos adalah struktur pasif dan kita lah yang menjalankannya. Termasuk beragam konten positif dan negatif semua bergantung sudut pandang individu. Terutama bagaimana mereka merespon hal tersebut dengan bijak.

Sebagai Muslim minimalis tentu mengaji di media sosial menjadi alternatif. Terlepas dari kelemahannya yang jelas ngaji di medsos membuat orang membuka diri. Sebab jika tidak demikian maka kita tak akan sempat. Bukankah pejabat tak sempat mengaji dan ulama tak sempat menjabat terlebih lagi masyarakat. Maka dari itu konten kajian agama di medsos perlu dirayakan. Terlebih saat ini para pendakwah muda serta para alim dari Lirboyo, Tegalrejo, Langitan hingga Bangkalan sudah tampil mewarnai media sosial.

Sekarang saatnya kita sadar bahwa media sosial bukan sekadar sarana hiburan. Melainkan sarana untuk membuka pikiran bahwa ada banyak hal yang tidak kita ketahui. Kata Gus Baha, ngaji di medsos pun tetap sah selama sanad ilmunya jelas. Karena pahala itu tidak bisa dibatasi oleh media belajar. Gus Baha juga menenangkan kita untuk tidak khawatir ketika harus ngaji online sebab "al ma'ruf" itu sangat mudah dikenali akal. Misal, jika ada orang ngaji di medsos lantas berfatwa bahwa membunuh ahli maksiat itu sah maka jelas ini error. Atau misalnya mencuri itu halal selama kita peruntukan bagi kebaikan. Maka dari itu Gus Baha berpesan, makane ngaji sing tenanan ben roh ilmune wong alim. Sebab agama itu bukan berdasarkan kata saya, tapi kata ilmu dan sanadnya.[]

the woks institute l rumah peradaban 5/4/25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...