Langsung ke konten utama

Bukuku, Sayapku




Woko Utoro

Berulang kali kita dengar bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan seberapa besar minat baca warganya. Jika membaca belum menjadi kebutuhan maka jangan berharap kemajuan dapat diraih. Ini bukan narasi ketakutan. Tapi fakta yang telah dibuktikan oleh banyak negara. Sederhana saja misalnya Finlandia dan Jepang mengapa bisa maju? karena di sana bacaan menjadi makanan harian. Di sana orang minimal wajib membaca koran setiap pagi. Dengan membaca mereka yakin wawasan pikiran mudah terbuka.

Kegagalan negara adalah ketika masyarakat dijauhkan dari bacaan. Dan fenomena sistemik ini sudah diwarisi terutama sejak orde baru. Di era ini masyarakat dijauhkan dari sumber bacaan. Pemberitaan diplintir hingga pembredelan. Akibatnya masyarakat tidak kritis dan bodoh. Dengan demikian narasi informasi serta berita dibentuk oleh mereka yang memiliki data. Dalam hal ini kekuasaan pasti membentuk narasinya sendiri. Sedangkan masyarakat dipaksa bungkam dan diam.

Jika saja mayoritas masyarakat sadar bahwa membaca itu penting maka tak usah lah menunggu lama. Terutama membaca buku adalah sama wajibnya dengan mempelajari kitab suci. Membaca buku tidak bisa digantikan oleh apapun kata Karlina Supeli. Sebab dalam buku ada kekuatan di mana pikiran manusia menjadi terbuka, jernih, kritis dan responsif terhadap keadaan. Orang yang tak terbiasa baca buku mudah terserang alzheimer, jauh dari informasi dan penumpulan otak.

Buku bukan sekadar wadah informasi dalam bentuk tulisan. Tapi bagi Leo Tolstoy, buku adalah sekumpulan dialog para pemikir yang bisa kita akses dengan mudah. Buku juga bukan benda mati justru ia adalah pengalaman hidup yang saling terhubung. Buku juga bagian terpenting untuk kita mengetahui diri sendiri. Dengan rajin membaca buku kita diajak terbang tinggi walaupun tanpa sayap. Buku mengajak kita berlari jauh walaupun tanpa kaki. Karena buku adalah kendaraan pikiran. Baca buku untuk kesehatan pikiran dan menulis lah untuk kesehatan mental.

Membaca buku selain memperkaya wawasan juga sekaligus melembutkan perasaan. Buku memungkinkan seseorang berpikir jernih dan penuh penghayatan. Dari buku laku lampah seseorang akan penuh pertimbangan. Tidak grusa-grusu apalagi mudah termakan hoaks. Orang yang banyak membaca cenderung besar toleransinya. Terhadap perbedaan membaca membuka jalan pikiran, menjauhkan dari emosional dan selalu menyajikan dialog.

Sekali lagi bahwa membaca buku adalah cara untuk keluar dari belenggu ketidaktahuan. Mungkin membaca terasa bosan tapi lambat laun kita akan sadar bahwa kemajuan membutuhkan proses lama. Sedangkan hal instan seperti hidup di alam digital memudahkan kita untuk goyah diterpa angin globalisasi. Mari kita bentengi diri dengan rajin membaca.[]

the woks institute l rumah peradaban 17/4/25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...