Woko Utoro
Pada peringatan hari Kartini 21 April 2025 kemarin saya iseng tanya kepada salah seorang guru muda dan karyawan swasta. Pertanyaannya sama, mengapa tidak pakai kebaya atau batik. Bukankah Hari Kartini indentik dengan busana tersebut? Mereka menjawab, ribet mas. Bagi seorang guru kadang harus nyewa. Sedangkan bagi karyawan swasta fungsinya tidak pas atau seringnya nyrimpeti.
Dari statement tersebut sejak awal saya juga sering berpikir nasib malang Hari Kartini tersebut. Hampir tiap tahun hanya diperingati sebagai euforia busana terutama batik dan kebaya. Hari Kartini masih belum dirayakan sebagai spirit aksi nyata yang memiliki esensi. Hari Kartini masih sebagai seremonial belaka tanpa menyentuh isi. Kartini hanya hidup sebagai simbol lalu menjadi ucapan selamat.
Dalam pemberitaan pun tak jauh berbeda. Hari Kartini masih sebatas busana dan aksi eksebisi. Misalnya perempuan mengendarai motor cross dengan berkebaya. Masak besar, menghias tumpeng dengan kebaya dan sanggul. Merias wajah ala Kartini hingga bersih-bersih pantai lalu berswa foto dengan pakaian adat. Sebenarnya bukan itu makna utama mengapa ada Hari Kartini.
Kartini diperingati sebagai salah satu bentuk warisan bagi bangsa ini tentang sosok perempuan tangguh. Tentang sosok perempuan yang kritis terhadap budayanya sendiri. Tentang perempuan yang resah terhadap kondisi pendidikan. Tentang perempuan yang berpikir melampaui jamannya. Mungkin Kartini tidak sempurna karena perjuangannya tergolong sebentar. Karena Kartini meninggal masih sangat muda yaitu 25 tahun.
Mungkin Kartini tak seheroik Ratu Kali Nyamat atau Cut Nyak Dien yang turun ke medan laga. Kartini juga tidak segesik Dewi Sartika dengan sekolah istri, Nyai Walidah Ahmad Dahlan dengan perkumpulan Sopo Tresno atau Hj Rasuna Said dengan Partai PERMI nya. Tapi setidaknya Kartini menjadi simbol sekaligus wadah untuk siapa saja terkhusus kaum perempuan. Jika mereka resah, peduli, bergerak dan berjuang maka semua itu layak disebut pejuang emansipasi.
Maka dari itu mulai kini berhentilah menghidupkan Kartini hanya sebatas busana. Hidupkan Kartini dengan perjuangan. Ziarahi pikirannya. Dalami karyawannya. Selami makna hidup dan pengorbanannya. Wujudkan cita-citanya. Sehingga dengan begitu Kartini akan selalu hidup bukan sekadar di bulan April tapi sepanjang waktu. Bahwa perempuan memiliki peran yang sama untuk maju dan bebas merdeka.
Jika tiap tahun momen Kartini hanya sebatas pesta busana. Maka jadikan saja tanggal 21 April sebagai hari kebaya atau hari busana jadul. Tak ada esensi lain kecuali Hari Kartini sebagai momen memajukan kaum perempuan. Perempuan hebat bangsa akan bermartabat.[]
the woks institute l rumah peradaban 24/4/25
Komentar
Posting Komentar