Langsung ke konten utama

Charge dan Cari Wifi di Makam Wali



Makam Mbah Agung Taruna Plosokandang


Woks

Ada seorang petapa atau silo di bawah sebuah pohon rindang di tepian sawah dekat jalan Kauman menuju arah Ploso Kediri. Cerita itu disampaikan oleh salah satu guru saya dan beliau dari kawannya. Saat ditanya orang tersebut mengapa berdiam di sana dan apa yang dicari. Orang itu lalu menjawab di sini sinyal wifinya banter (cepat).

Sejenak teman guru kami itu pun terdiam lantas bertanya apa maksudnya. Beliau pun menjawab ya di sini sangat cocok untuk berdzikir tafakur karena sinyal wifi dari para auliya begitu deras mengalir. Coba bayangkan di sini adalah posisi strategis, tengah-tengah di antara sebelah barat ada makam Mbah Basyaruddin, di selatan ada Mbah Sunan Kuning, di utara ada Gus Miek dan di Timur ada Hasan Mimbar Majan bahkan masih ada yang lain seperti Mbah Abdul Jalil Mustaqim, Mbah Nuryahman, Mbah Pacet, Mbah Bedalem, Mbah Kumbang dll (pen).

Seketika melalui pernyataan itu guru kami pun mulai paham ohh ternyata demikian. Dari kisah itu akhirnya setiap kali perjalanan ke suatu daerah guru kami tersebut selalu menyempatkan berkunjung untuk berziarah ke makam auliya atau pendiri desa. Katanya jika kita mencari sinyal wifi hanya karena ingin browsing di gadget itu sudah biasa. Kalau yang ini adalah sinyal wifi untuk menambah frekuensi ruhani.

Sebelum mengenal istilah wifi ruhani guru kami yang satunya mengenal dengan istilah charge. Tentu dua istilah ini sama tujuannya yaitu menambah amunisi dalam batin yang mudah low bat, akan tetapi levelnya berbeda. Jika charge batrai maka seketika gadget menyala belum tentu bisa browsing jika paketannya tidak ada. Akan tetapi jika semakin dekat sinyal wifi maka speed browsing akan semakin lancar. Cuma sama saja jika gadget tidak di charge sekuat apapun sinyal tak ada gunanya dan gadget bisa segera mati. Oleh karenanya antara charge dan sinyal wifi sama pentingnya apalagi jika berkaitan dengan unsur ruhani.

Sebagai orang biasa perjalanan penempuhan batin memang perlu dilakukan. Karena hal itu tidak semua orang menyadari bahwa sistem ruhani juga sangat penting untuk dirawat apalagi di zaman modern penuh kecemasan ini. Para sarkub mania alias pegiat makam mereka tahu bahwa para auliya sejatinya tak pernah mati kecuali jasadnya. Sedangkan ruhnya masih selalu hidup dan menunggui kita hingga kini. Gus Miek contohnya sering mengatakan jika ingin bertemu aku amalkanlah Dzikrul Ghofilin dan membaca al fatihah 100 kali. Demikian juga siapa yang membaca sholawat 10.000 kali di makam Syaikhona Kholil Bangkalan beliau akan hadir.

Melalui wasilah para wali kadang kita juga menyampaikan hajat. Karena para auliya maqamnya dekat dengan pencipta maka amat mudahlah menyampaikan segala hajat kita. Dalam bahasa keseharian kita melakukan sambatan kepada orang yang dekat dengan Allah berharap hajat tersebut dikabulkan. Orang-orang awam seperti kita memang perlu mendekat kepada mereka para guru-guru arifin yang sudah wushul ila allah. Sehingga kita yang gelap ini selalu mendapat secercah cahaya berkahnya. Kita yang alfa ini mendapat percik alias luberan karomahnya. Hal itu jangan dimaknai syirik akan tetapi hanya sebatas sarana bahwa kita tak bisa apa-apa.

Kesyirikan yang sering dialamatkan oleh kubu sebelah sebenarnya tidak benar. Mereka belum tahu saja bahwa untuk menambah daya hidup gadget kita butuh charger dan agar proses browsing semakin kuat lebih dekat dengan wifi adalah sarananya, lantas di mana salahnya. Jika sering mencharge gadget dan sering mendekat sinyal wifi maka beberapa sinyal yang lain akan mudah terkoneksi. Bagaimana mungkin sinyal wifi ada dalam gadget kita jika sinyalnya tidak didekati. Mungkin saja yang jauh kadang nyantol akan tetapi belum tentu bisa dibuat browsing karena dikenakan kata sandi alias password.

Demikianlah wifi ruhani tersebar di mana-mana secara gratis, 24 jam full seperti di warkop. Tinggal kita mau tidak mendekat mengenalnya minimal untuk sekadar bersilaturahmi menghadiahkan fatihah kepada para pendahulu. Sungguh sebaik-baiknya cinta adalah mendoakan yang dicintai. Mari isi batrai ruhani kita lalu mendaftarkannya kepada frekuensi para auliya.

the woks institute l rumah peradaban 1/2/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...