Langsung ke konten utama

Spirit dari Hati: Bergerak Dari Hati Untuk Melayani




Woks

Orang masih belum paham akan keberadaan anak berkebutuhan khusus. Dengan ketidakpahaman itu akhirnya tugas kita harus memahamkannya. Masyarakat selama ini masih memiliki kecenderungan mistik, klenik dan aneh jika mendengar anak berkebutuhan khusus. Mereka cenderung mencemooh dan meminggirkannya. Hal inilah sebagaimana kaum feminis yang terus berupaya melahirkan kesetaraan. Semua orang berhak atas peran dan fungsinya masing-masing.

Keberadaan anak berkebutuhan khusus seharusnya diterima dengan tangan terbuka. Karena walaupun bagaimanapun mereka adalah kehendak Tuhan yang tidak bisa ditolak. Keberadaan mereka memerlukan perlakuan khusus. Dalam hal ini masyarakat dan pemerintah harus juga perhatian terhadap mereka. Tidak hanya soal fasilitas akan tetapi regulasi pun perlu menyentuh mereka misalnya di dunia pendidikan hingga dunia kerja.

Tidak hanya penyandang disabilitas semua orang yang masuk kategori tersebut termasuk ODGJ, anak terlantar, korban diskriminasi, orang jompo, juga memerlukan penanganan khusus. Perlakuan terhadap mereka memang harus dengan hati karena jika tidak dengan proses memahami secara mendalam kita akan kewalahan.

Proses memahami dengan tangan terbuka memang tidak mudah. Karena tidak semua orang mau peduli. Sehingga kepedulian tersebut harus dibangun sejak dini. Jika kita mau belajar faktanya banyak di antaranya mereka yang juga berhasil menjadi manusia sukses misalnya Stephen Hawking, Albert Einstein, Thomas Alfa Edison, Steve Jobs, Nick Vujicic, hingga KH. Abdurrahman Wahid. Latar belakang berkebutuhan khusus tidak membuat mereka minder justru malah membuktikan bahwa mereka mampu laiknya orang normal.

Begitulah sifat Tuhan selalu memberi keistimewaan kepada mereka yang kekurangan baik secara fisik maupun mental. Sekarang tinggal kita melihat dari sudut pandang mana dalam memperlakukan mereka seperti apa. Yang jelas anak berkebutuhan khusus jangan sampai menjadi manusia kelas dua. Justru dengan penanganan yang tepat buat mereka memiliki posisi yang sama di ranah publik. Atau setidaknya ada jaminan bagi mereka untuk diberi kesempatan misalnya melalui pelatihan dan pengkaderan.

Kita meyakini dengan penanganan tepat dan pelayanan dari hati mereka pun bisa berprestasi. Contoh nyata tentu ketika pagelaran Paralimpiade tahun 2021 lalu di mana wakil Indonesia menempatkan juaranya terutama di bidang bulutangkis. Bahkan tidak sedikit juga mereka yang tuna netra justru bisa menjadi hafidz al Qur'an 30 juz. Tentu hal itu adalah segelintir contoh pastinya masih banyak di luaran sana mereka yang perlu juga sentuhan ruhani dari kita semua.

the woks institute l rumah peradaban 6/1/21




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...