Langsung ke konten utama

Diskusi Malam Minggu Madzhab Pucung Kidul




Woks

Selepas isya motorku meluncur ke Pucung Kidul tempat Pak Ridha tinggal. Seperti biasanya malam minggu suasana syahdu nan kelabu begitu terasa. Akan tetapi malam minggu kali ini terasa berbeda karena ku lihat akan ada perbincangan hangat seputar apa saja. Ternyata benar, lagi-lagi aku terlibat dalam diskusi yang tak terduga itu. Pak Ridha selaku tuan rumah langsung memperkenalkan aku kepada koleganya ketika di Jogja. Kebetulan diskusi kali ini melibatkan media zoom sebagai sarananya.

Aku kaget karena diskusi tersebut ternyata membahas tema besar "Genealogi Sains", sedangkan turut hadir dalam pemantik diskusi yaitu Pak Muzayin Nazaruddin, Pak Ridha, dan Pak Ahmad Alwajih. Tapi sayang nama terakhir tidak bisa dihubungi akan tetapi tidak mengurangi nikmatnya perdiskusian. Dalam acara santai tersebut hadir pula beberapa kolega di antaranya Mas Kamil Alfi Arifin, Mas Barlian Anung, Mas Rizky Wahyudi, Mas Anggie Septa, Mas Pampam Sulis, dan Mas Tommy. Beberapa di antaranya terlibat sebagai pengajar di Jogja terutama kampus UII.

Pak Muzayin yang live dari Negara Estonia menjelaskan berbagai hal terkait tema di atas. Akan tetapi karena aku kaget sejak awal dan nervous maka aku kehilangan jejak untuk mencatat penjelasan genealogi sains secara terperinci. Akan tetapi dari penjelasan Pak Muzayin aku malah tertarik untuk mencatat tentang gunung sebagai sebuah objek studi. Karena kebudayaan yang lahir dari gunung, laut, hutan dan sungai tentu memiliki coraknya tersendiri. Termasuk berislamanya orang pesisir tentu akan berbeda dengan mereka yang ada di pedalaman hutan atau ketinggian pegunungan.

Kata Pak Muzayin riset tentang gunung masih sedikit orang yang meminatinya ketimbang laut atau hutan. Misalnya kajian sosio antropologis corak keberislaman masyarakat pesisir tentu lebih banyak daripada bagaimana keberislaman mereka yang berada di lereng gunung. Maka dari itu riset tentang gunung dan keunikan sangatlah perlu dilakukan apalagi dana untuk pengembangan riset ilmu pengetahuan sangat besar dari pemerintah. Akan tetapi di sinilah nanti muncul tarik ulur antara ilmuan sains dan intelektual akademik kajian sosial humaniora mana yang harus didahulukan. Terutama soal perdebatan sains dan agama dalam merespon pandemi seperti saat ini.

Bicara tentang gunung tentu sangatlah luas. Banyak perspektif yang dilahirkan dari gunung sebagai objek. Bagi orang Jawa khususnya, gunung tidak sekadar gundukan tanah menjulang akan tetapi subjek yang juga bisa berkomunikasi. Di sinilah komunikasi gunung menjadi tradisi lokal yang adiluhung dalam hal ini Merapi dan juru kuncinya almarhum Mbah Maridjan pernah jadi perbincangan publik.

Gunung memang bisa ditinjau dalam berbagai perspektif di antaranya secara ekonomi kini gunung berpotensi sebagai objek wisata dan fungsi kapitalistik lainya. Bahkan sarana penyewaan alat-alat pendakian hingga porter tersedia dengan mudahnya. Dari gununglah masyarakat seolah mendapat keberkahan tersendiri. Bahkan bencana gunung meletus tidak selamanya musibah justru pasca bencana ada hikmah dan keberkahan luar biasa.

Gunung juga bisa ditinjau sebagai harritage alias peninggalan purbakala. Bahkan kata Pak Ridha gunung di Jawa tak akan jauh dari sebuah mitologi dan kepercayaan. Misalnya dalam Jongko Joyoboyo gunung menjadi pertanda awal hingga berakhirnya sebuah kekuasaan. Ketika gunung meletus tentu itu merupakan simbol bahwa kekuasaan penguasa sedang tidak baik-baik saja. Misalnya di era Soeharto kejadian meletusnya gunung tidak boleh diekspos secara masif karena akan berkaitan dengan bobroknya pemerintahannya. Gunung meletus memang menjadi lambang ketidakstabilan penguasa.

Gunung secara semiotik tentu dapat berkomunikasi. Di Jawa komunikasi gunung melalui peran juru kunci sangat memiliki value. Berbeda dengan Eropa yang tidak memiliki kebudayaan juru kunci maka segala semiotik yang ada pada gunung hanya bermakna metaforik dan angka biasa. Sebelum adanya teknologi pantau gunung atau seismogram warga mengenal gunung akan meletus melalui tanda-tanda alam seperti banyaknya hewan yang turun ke pemukiman atau suhu bumi mendadak panas. Ironisnya hewan yang pertama kali mendeteksi gunung akan meletus justru mereka tidak bisa menghindar dari kepunahan.

Di Jawa khususnya gunung juga bisa diamati melalui nalar induktif alias ilmu titen. Ilmu mengamati itulah yang dikumpulkan lalu dijadikan patokan untuk menjadi kesimpulan. Setidaknya kemampuan semiotik manusia secara simbolik tersebut justu bisa merubah alam. Alam justru bisa dirasakan kehadirannya bukan berdasar fakta ilmiah akan tetapi melalui nalar intuitif orang-orang tertentu. Kata Pak Ridha hal-hal yang berbau mistis itu laiknya harus diyakini, diterima dan baru bisa dirasakan. Tanpa cara itu kita tak akan mendapat pengetahuan di luar nalar manusia.

Karena state hadir belakangan dari kepercayaan terhadap ritus gunung kadang masyarakat lebih percaya dengan juru kunci daripada peringatan pemerintah. Selama ini warga desa memang masih ketakutan dengan seragam formal, petugas atau elit mereka justru nyaman dengan pakaian biasa, orang pintar hingga juru adat. Sehingga ketika gunung akan meletus orang-orang tua di desa kurang begitu percaya dengan teknologi peringatan bahaya gunung meletus.

Kajian tetang gunung memang tak ada habisnya apalagi jika kita perluas lagi mosalnya riset tentang situs gunung Padang yang rumornya batu susunan di sana lebih tua dari Piramida Mesir. Selain itu gunung dan tradisi ziarah, pesugihan dan pencari pengasihan juga masih berkembang. Belum lagi gunung ditinjau dari tradisi keilmuan misalnya ilmu fikih juga tak kalah menariknya untuk dikupas.

Barangkali dengan keunikan tersebut jika Danies Lombard atau Tom Pirres masih hidup mungkin mereka akan meneliti gunung dan kebudayaannya pula. Jika kita kembali soal genealogi sains tentu akan ada pertentangan di mana mereka yang memiliki kuasa pengetahuan Michael Foucault knowledge and power akan berkuasa dalam berbicara misalnya pandemi. Maka dari itu kebenaran harus benar-benar dicari. Jika kebenaran dihadapan dengan epistemologi maka empirisme ala David Hume harus diperbaharui dengan istilah new empirisme. Karena bagaimanapun juga kita harus mampu mendudukan permasalahan ini.

Bahkan dari diskusi ini aku mencatat ada topik berbobot untuk judul disertasi mengenai pembentukan sistem ketuhanan anak-anak pemuka lintas agama serta sejarah konfrontasi sejak era Soekarno hingga saat ini. Tentu kita tahu perdebatan era Soekarno dengan Sayuti Melik, Bung Hatta, Natsir dan lainya sangatlah menunjukkan potret intelektual kita yang tidak kalah dari tokoh-tokoh Barat.

Diskusi yang sangat gayeng itu akhirnya diakhiri pada pukul 01:00 dinihari. Setelah itu aku pun segera menghabiskan kopi lalu beranjak pulang. Alhamdulillah rasa kantuk ku finis di jam 03:00 pagi dan langsung pulang menuju pondok. Semoga saja aku bisa mencatat momen seperti malam itu karena longsoran pengetahuan dan pengalaman dari para senior adalah keberkahan bagi perjalanan intelektual ku.

the woks institute l rumah peradaban 9/01/22


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...