Langsung ke konten utama

Membongkar Jejaring Kesuksesan Para Guru Besar UIN SATU Tulungagung




Woks

Dulu sebelum teknologi berkembang kita kesulitan dalam hal informasi termasuk bagaimana cara mengetahui resep kesuksesan seseorang. Tapi saat ini teknologi masif dan jamak dimiliki siapa saja. Informasi apapun sangat mudah diakses seolah dunia dalam genggaman termasuk bagaimana track record seseorang dalam menggapai kesuksesannya.

Secara jujur dan terkesan saya banyak mendapat pengalaman menarik soal kesuksesan seseorang salah satunya melalui video dokumenter pengukuhan guru besar di UIN SATU Tulungagung. Semua itu sangat mudah kita peroleh melalui kanal Youtobe kampus, sekali klik kita sudah bisa mendapat tips dan pengalaman para guru besar itu. Peranti teknologi memang memudahkan segala hal termasuk mencatat bagaimana kiprah para guru besar sampai mencapai puncak kesuksesannya.

Beberapa hal yang perlu dicatat dalam video dokumenter tersebut di antaranya rerata para guru besar itu berlatar hidup yang pas-pasan. Keterbatasan ekonomi menjadi faktor utama mereka gigih dalam memperjuangkan cita-cita. Selain itu mereka juga dipenuhi perjuangan yang tidak mudah. Tentu modal semangat gigih adalah lokomotif yang menggerakan mereka tetap di jalan cita-cita.

Selain itu mereka juga tidak malu, tidak gengsi misalnya menjadi penggembala kambing, mencari rumput, berjualan es, guru ngaji hingga menjadi pedagang asongan. Hal itu sebenarnya didasari karena kegigihan orang tua termasuk doa-doa yang dipanjatkan demi kesuksesan anak-anaknya. Selain itu merawat cita-cita sejak kecil adalah bagian dari tujuan hidup yang tidak boleh dilewatkan. Barangkali cita-cita adalah senjata seseorang dalam merawat asa yang selalu ingin diwujudkan.

Penempaan yang panjang dan melelahkan dalam masa belajar menjadi salah satu faktor kesuksesan. Termasuk keberadaan restu guru baik guru saat mereka di madrasah diniyah, sekolah formal, pesantren hingga dunia kuliah. Dengan demikian penunjang kesuksesan lainya diperoleh melalui jaringan pertemanan yang umumnya diperoleh dari organisasi, pekerjaan hingga dunia pesantren. Ya, rerata guru besar di UIN SATU Tulungagung ini adalah alumni pesantren.

Beberapa hal lain yang menarik yaitu jaringan Pare alias kampung Inggris. Rerata para guru besar di sini pernah meneguk air kearifan dari kampung Inggris Pare Kediri. Mereka sebelum melangkah ke jenjang lebih tinggi biasanya bertapa untuk kursus bahasa Inggris di sana. Pengaruh kampung Inggris Pare memang sangat besar dalam membentuk mereka hingga saat ini. Termasuk juga kesuksesan mereka karena faktor sudah menikah alias sudah memiliki anak. Belum saya temukan satu pun para guru besar yang sukses dalam keadaan jomblo, rerata sudah menikah.

Demikianlah beberapa kunci sukses para guru besar yang saya kumpulkan dalam narasi video dokumenter. Tentu analisis ini berdasarkan pengalaman dari para Guru Besar UIN SATU Tulungagung. Jika kita ingin menuju kesuksesan yang sama rasanya bisa mengikuti rekam jejak tersebut. Apakah kesuksesan harus ditempuh dengan kere terlebih dahulu? tentu tidak. Yang terpenting adalah semangat gigih pantang menyerah, punya segudang kemauan untuk belajar dan open minded terhadap hal-hal baru, jangan takut mencoba, selalu belajar dengan siapapun pasti akan menemukan jalan kesuksesan tersebut. Saat ini tinggal kita memilih jalan mana yang akan ditempuh. Sungguh jalan kesuksesan sebanyak buih di lautan.

the woks institute l rumah peradaban 23/01/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...