Langsung ke konten utama

Pesan Indah Untuk Para Pengkaji Qur'an




Woks

Bagi para pengkaji qur'an yang termasuk di dalamnya para qori, huffadz, pengkaji tafsir, intelektual dan lainya perlu direnungi pesan berikut ini. Pesan ini disampaikan oleh Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA yaitu imam besar Masjid Istiqlal sekaligus mustasyar PBNU. Kata beliau bagi para pengkaji qur'an yang telah disebutkan perlu agar kita memiliki niat yang murni dan ikhlas.

Jangan sampai para pengkaji qur'an menjadi selebriti tahfidz. Jangan sampai kita justru sibuk oleh dunia dengan hingar-bingarnya. Seharusnya motto kita adalah majhulun fii al ardy, ma'lumun fii sama' atau tidak perlu terkenal di bumi melainkan langitlah yang akan memahami. Betapapun kita tahu Khidir bin Balya adalah seorang nelayan lusuh yang berpuluh-puluh tahun tetangganya pun tak mengetahuinya. Hingga akhirnya hijab langit terbuka bahwa ia adalah Nabi Khidir Alaihissalam guru hakikat Nabi Musa Alaihissalam.

Termasuk juga Uwais al-Qarni seorang yang tidak diperhitungkan di bumi tapi namanya mashur dan diperebutkan malaikat di langit. Uwais begitu tersingkap jati dirinya ketika Sayyidina Umar diperintah oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam untuk memintakan istighfar darinya. Karena kemulyaan atas baktinya terhadap ibu, Uwais justru menjelma menjadi manusia yang mulia.

Jangan sampai memandang remeh orang yang tidak terkenal bisa jadi ia adalah orang populer di langit. Berapa banyak selebriti yang terkenal di bumi akan tetapi tidak terkenal di langit. Sedangkan mereka yang terkenal di langit tidak ada yang mengenali di bumi. Maka penting sekali sikap ketidakinginan populer dan istiqamah sebagai jalan meraih berkah.

Kita juga jangan sampai memiliki sifat sombong dan angkuh cuma karena merasa sudah hafal qur'an. Ingat bahwa bukan batu besar yang membuat kecelakaan akan tetapi justru kerikil kecil lah yang sering membuat kita tergelincir. Yang ingin kita gapai masih banyak sedangkan pencapaian kita masih sedikit dan tidak ada apa-apa nya. Oleh karena itu mari bersihkan diri dari sikap bangga, sungguh sikap bangga itu adalah bagian dari hijab nurani.

Tentu kita tidak khawatir jiwa para pengkaji qur'an terperosok ke dalam dhulman atau kesesatan seperti berzina, merampok, mabuk dll akan tetapi justru bersikap sombong itulah hijab nurani. Maka dari itu sangat penting agar kita rajin membersihkan relung hati, lipatan jiwa dari sombong, angkuh dan popularitas. Biarlah segala apa yang kita lakukan hanya Allah yang tahu. Jadikanlah Dia dan hanya dengan kita saja saja yang intim hingga akhir hidup. Orang akan tahu tentang kita ketika Dia yang membuka hijabNya.

the woks institute l rumah peradaban 12/01/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...