Langsung ke konten utama

Obituari : Pak Tukul dan Kecintaannya pada NU




Woks

Saat mendengar Pak Mulyono kapundut melalui pengeras suara mushola saya langsung terdiam tak berkutik seolah tak percaya. Sejak dulu berita duka memang membuat kita tertegun sekaligus bertanya demikianlah usia tak pernah tau ujungnya. Pak Mulyono yang biasa kami panggil Pak Tukul atau Pak Yon menghembuskan nafas terakhirnya setelah beberapa hari berjuang melawan sakitnya di ruang ICU.

Beberapa hari itu pula di antara kami teman-teman mengiriminya doa berharap keadaan membaik. Bahkan kami berencana akan menjenguk beliau ke rumah sakit. Tapi apalah daya berita duka itu lebih cepat dari pergerakan kami. Pak Tukul harus segera pulang menghadap sang pencipta tepat pukul 12 malam 19 Januari 2022. Beliau juga sudah ditunggu oleh ibu yang dicintainya yaitu Almarhumah Mbah Widji.

Saya mengenal beliau lumayan cukup lama sekitar 6 tahun ini. Sejak pertama di PP. Himmatus Salamah Srigading Plosokandang Kedungwaru Tulungagung, Pak Tukul adalah salah satu tetangga pondok kami yang saya kenal baik dengan beliau. Bahkan saya cukup akrab dengan beliau karena tema khidmah di NU. Kebetulan pula cucu beliau Ananda Zahra mengaji di TPQ pondok kami. Termasuk kini saya kenal dengan sahabat beliau Ibu Hj. Roudhotul Jannah Mojosari. Sehingga jalinan persahabatan kami begitu erat.

Saya menyaksikan betul bahwa Pak Tukul adalah orang baik dan bersahaja. Beliau juga pekerja keras dan memiliki ketegasan serta kegigihan. Murid Gus Syamsuddin Blitar tersebut tercatat sebagai kepala keluarga, aktivis masyarakat dan sosial. Beberapa kali kita terlibat diskusi utamanya soal NU dan sejarah kearifan lokal. Dulu saya dan Mas Ubaidillah pernah mewawancarai beliau terkait babad Desa Plosokandang pada mata kuliah metodologi kualitatif. Beliau yang juga concern dalam sejarah lokal memberikan informasi yang banyak mengenai sejarah Plosokandang beserta tokoh-tokohnya. Melalui kajian itu pula kami menjadi terlibat aktif soal penggalian sejarah.

Beliau dan cintanya pada NU

Yang paling berkesan dan saya jadikan panutan hidup adalah soal khidmah beliau pada NU. Kecintaan beliau pada NU sudah tidak diragukan lagi. Beliau terlibat aktif dalam satuan koordinasi yonif Banser Tulungagung bahkan Nasional. Sering beliau bercerita tentang peran Banser Tulungagung ketika menjadi instruktur di PCI NU Taiwan dan Taichung. Bahkan beberapa kali beliau mendorong saya untuk aktif di Balayudha Islam Nusantara (BIN) pimpinan Abah Yai Darto Syaifuddin.

Beliau itu walaupun tidak pernah mondok seperti kita tapi tadhimnya kepada kiai, ulama, habaib, sangat luar biasa. Ketika misalnya kiai dari pusat PBNU atau BIN menginstruksikan A maka beliau langsung menjalankan A tersebut. Beliau memang sosok santri yang sami'na wa athona percis seperti pengamal thariqah yang aktif.

Beliau sangat senang dengan santri serta perjuangan pondok pesantren. Kecintaan itu beliau wujudkan dengan sering menjadi backing buat acara-acara yang dihelat NU. Kami bahkan sering dimintai video saat sholawatan tujuannya agar dikirim ke grup-grup WA katanya supaya adem. Apalagi jika sudah bicara NKRI beliau pasti akan di garda terdepan. Bagi beliau kelompok-kelompok takfiri, radikalis, dan anti Pancasila harus diberikan pemahaman akan ajaran hubbul wathan minal iman ala NU. Karena bagaimanapun Indonesia tidak boleh pecah dengan keberadaan kelompok sempalan itu. Beliau pasti akan selalu mengawal kebhinekaan tersebut dengan segenap jiwa dan raga.

Sayang kini sosok yang gigih dan cintanya pada NU itu harus pulang ke haribaan Allah swt. Padahal beliau ketika sebelum berangkat ke Muktamar NU 34 Lampung sempat ingin memberikan saya kaos Muktamar tapi hal itu tidak terjadi. Akan tetapi saya tidak merasa risau karena pada saat perjalanan pulang menuju Cirebon kami sempat melakukan video call bersama Kang Bangkit. Barangkali VC tersebut adalah kali terakhir kita bertemu dan saya belum sempat wawancara terkait Muktamar NU itu. Ya Allah Pak Tukul yang pejuang dan pekerja keras itu kini sudah sowan Panjenengan. Saya hanya berdoa, sugeng tindak pak. Pak Tukul semoga husnul khatimah dan berkumpul bersama para ulama NU. al Fatihah

the woks institute l rumah peradaban 19/01/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...