Woks
Tiga dari kartu sakti Jokowi memang selalu asyik diperbincangkan di antaranya Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Sejahtera (KIS). Di Antara ketiga kartu tersebut, kartu ketiga lah yang selalu jadi topik hangat di desa, kita mengenalnya dengan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).
KKS adalah salah satu kartu yang diluncurkan melalui kementerian sosial. Kartu tersebut masuk sebagai salah satu bantuan kemensos termasuk di dalamnya Prakerja, BNPT, UMKM dan lansia. Di antara riuh bantuan yang digelontorkan pemerintah tersebut karena ketidakmerataan masyarakat yang mendapat bantuan tersebut. Tentu banyak faktor mengapa hal itu bisa terjadi.
Bansos BNPT yang masyarakat familiar menyebutnya dengan Rasdog alias beras endog selalu menjadi polemik di kalangan akar rumput. Alasannya sederhana karena ketidakadilan atau penyalahgunaan oleh aparat terkait. Sedangkan masyarakat sejak dulu selalu saja tidak pernah tau bahwa mereka berada di posisi yang sama.
Secara bebas saya mencatat mengapa setiap ada bantuan masyarakat kita selalu riuh. Setidaknya kita berkaca pada Bantuan Langsung Tunai (BLT) era Presiden SBY. Pada bantuan yang berupa uang tersebut masyarakat tentu merasa tidak mendapat keadilan karena ada warga yang secara jelas masuk kategori miskin akan tetapi tidak mendapat bantuan tersebut. Sebaliknya orang-orang kaya dengan pengasilan cukup justru mendapatkan bantuan itu. Jika berkait dengan uang orang kaya pun mendadak memiskinkan diri demi mendapat bantuan.
Faktor lainnya yaitu karena masyarakat kita masih gagap informasi. Padahal secara fakta saat ini banyak bantuan yang diakses melalui aplikasi di smartphone. Selain itu secara administratif banyak masyarakat kita yang masih belum memiliki KK, KTP atau surat-surat terkait yang masih bermasalah. Sehingga dengan begitu menyulitkan petugas untuk pendataan. Permasalahan masyarakat kita memang kompleks selain dua hal itu ada lagi lainya yang masih menghantui yaitu persoalan SDM, mentalitas dan mindset. Hal itulah yang masih menjadi PR bagi kita semua.
Selain persoalan bobroknya oknum pemerintah kita baik di desa maupun negara secara luas. Yang jelas tradisi untung-untungan pun masih mengakar di masyarakat. Misalnya dikenakan admin karena alasan transport, dikenakan potongan karena alasan uang lelah, atau bahkan istilah jatah menjadi hal biasa.
Fenomena yang demikian itu sudah menjadi pemandangan umum di masyarakat. Sehingga bagi rakyat kecil yang gagap informasi tentu tak akan berkutik dengan sistem tersebut. Maka pantaslah jika kuasa pengetahuan akan selalu menang dalam setiap kebijakan yang ada. Masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa kecuali diam dan pasrah. Selain itu pemalsuan data yang berkaitan dengan administrasi sudah bukan rahasia umum. Hal-hal negatif di desa seolah menjadi tradisi yang terus dilanggengkan. Maka secara jelas inilah yang disebut lingkaran setan.
Dengan demikian perlulah kita bermain peran melalui jalan politik. Hanya lewat jalur itulah salah satu cara agar kita bisa memperbaiki sistem dan tradisi kapitalistik yang ada. Budaya pragmatis laiknya harus dikikis atas dasar keterwakilan dan keadilan. Tidak hanya itu pembentukan mental masyarakat juga tak kalah pentingnya. Jika setiap orang selalu berharap mendapat bantuan berarti harapan menjadi miskin sangat terbuka.
Mulai saat ini seharusnya masyarakat segera sadar bahwa kaya adalah ketika seseorang tidak bergantung dengan sesuatu atau tidak juga berharap lebih pada sebuah pemberian. Maka pantaslah jika kaya miskin bukan soal kepemilikan harta melainkan soal sikap dan mental. Jika orang merasa cukup atas segala pemberian dan potensi diri maka dia layak disebut orang kaya. Kekayaan memang tidak selalu berupa uang tapi bisa juga berupa kontribusi kritis menolak sesuatu yang memang perlu dipertanyakan.
the woks institute l rumah peradaban 14/01/22
Komentar
Posting Komentar