Woko Utoro
Pada hari Selasa 7 November 2023 saya berkesempatan untuk kesekian kalinya belajar menjadi narasumber dalam sebuah acara literasi. Saya bersama Mas Roni dan Mba Eka kebetulan diminta mengisi acara atas nama Sahabat Pena Kita Tulungagung (SPEKTA). Kami diundang oleh SMPI Al Fattahiyyah Boyolangu Tulungagung.
Undangan tersebut dilayangkan melalui Kesiswaan yaitu Bapak Muqoyyim atas nama Tim Literasi Bapak Zulva dkk. Ternyata kepala sekolah SMPI Al Fattahiyyah adalah Bapak KH Syafi'i Mukarrom ketua Aswaja Center PCNU Tulungagung. Tentu dengan perkenalan tersebut suasana menjadi hangat antara kami semua. Termasuk ketika kami sampai di sana sambutannya begitu luar biasa.
Singkat kisah kami memasuki ruang yang sudah dihuni oleh 15 siswa siswi pilihan. Menurut keterangan siswa siswi tersebut adalah hasil seleksi dari ratusan siswa lain untuk dibekali pengetahuan seputar literasi. Kebetulan saat itu yang kami paparkan adalah seputar cerpen sesuai request panitia. Untuk pembicara pertama Mas Roni dan dipandu oleh Mba Eka.
Mas Roni menjelaskan panjang lebar seputar cerpen secara teoritis sedangkan saya hanya memberi tambahan berupa teknik dan beberapa motivasi menulis. Sesuai arahan pembina literasi bahwa pembekalan kepenulisan terhadap siswa diharapkan dapat memberi sumbangsih pengetahuan dan energi menulis. Terlebih SPK Tulungagung adalah salah satu komunitas menulis yang masih eksis hingga kini.
Dalam kesempatan tersebut saya menjelaskan bahwa setiap anak memiliki kecerdasannya tersendiri. Termasuk mengapa menulis tampak lebih sulit daripada bicara. Tentu menulis hanya soal berproses, membaca dan terus berlatih. Dengan begitu tidak hanya cerpen genre apapun bisa dihasilkan. Setiap orang bisa saja menulis tapi tidak setiap orang mampu produktif.
Dalam hal cerpen saya menjelaskan bahwa karangan atau prosa yang tidak lebih dari 10.000 kata tersebut sangat perlu dipelajari oleh seorang siswa. Terlebih SMPI Al Fattahiyyah berada dalam naungan pondok pesantren. Sehingga melalui cerpen kita bisa memotret pesantren dengan gaya sastra yang menarik. Gus Mus dan Ahmad Tohari misalnya mereka memotret keadaan sosial dan keagamaan dengan unik lewat cerpen. Dua tokoh tersebut membuktikan bahwa realitas sosial bisa sangat mudah dipotret lewat cerpen. Kendati cerpen adalah terdapat bumbu fiksi akan tetapi cerita yang ditangkap berasal dari kisah nyata di masyarakat.
Sebenarnya masih banyak hal yang saya sampaikan kepada santri Al Fattahiyyah tersebut. Akan tetapi sebagai penutup saya memberi pesan kepada mereka untuk menjadi mencatat. Saya berpesan bahwa mereka tidak harus menjadi penulis tapi pencatat. Catatlah apa yang didengar, dilihat dan dirasakan lalu buatlah karya salah satunya cerpen. Jika pun dari hasil mencatat itu menjadi tulisan dan kita disebut penulis maka itu adalah bonus. Tak lupa pula untuk terus rajin membaca karena tanpa bacaan tulisan akan terasa gersang.
Di sesi penutup kami sempatkan untuk berdialog bersama para siswa. Karena mayoritas mereka telah memiliki karya pribadi. Maka kami sempatkan untuk mengoreksi karya tersebut. Hingga akhirnya dzuhur tiba kita pun berpisah dalam keadaan berbahagia. Salam Literasi.
the woks institute l rumah peradaban 10/11/23
Kerenn mas woko
BalasHapus