Langsung ke konten utama

Mempertanyakan Kesejahteraan Guru




Woko Utoro

Hari ini tepat 25 November 2023 diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Hari di mana seharusnya para guru bersuka cita atas pilihannya mendidik. Tapi fakta di lapangan menyebutkan bahwa kesejahteraan terhadap seorang guru masih jauh. Guru sebagai elemen tak terpisahkan dari dunia pendidikan justru masih terus berjuang mengapai kesejahteraannya entah sampai kapan.

Mengapa kesejahteraan guru perlu dipertanyakan? Karena semua berkaitan dengan perkembangan dan kualitas pendidikan. Selama ini guru masih kesulitan untuk mengembangkan potensinya karena kesejahteraan belum tercapai. Akibatnya banyak peserta didik yang terbengkalai dan dilayani tidak sepenuh hati. Coba jika kesejahteraan guru sebagai tenaga pendidik telah baik maka kualitas pendidikan pun akan baik.

Kesejahteraan guru tidak hanya berkaitan dengan psikis psikologis tapi kompleks meliputi sosial dan agama. Orang yang sudah sejahtera lahir batin akan cenderung melayani sepenuh hati walaupun mungkin kekurangan. Sedangkan kesejahteraan materi juga menunjang perhatian guru untuk mendayagunakan kemampuan di dunia pendidikan. Maka dari itu kesejahteraan mencangkup semua hal utamanya proses transfer pengetahuan pada siswa.

Kesejahteraan memang tidak selamanya berkonotasi pada gaji. Tapi gaji menjadi faktor realistis seseorang dalam menggapai kesejahteraan. Ada beberapa alasan mengapa gaji guru sangat rendah di Indonesia? Karena berkaitan dengan anggaran yang dialokasikan hal lain di luar pendidikan. Akibatnya dunia pendidikan tidak menjadi nomor satu. Selanjutnya karena faktor kualitas guru yang juga rendah. Akibatnya pemerintah merasa belum siap menggaji guru sesuai dengan kualifikasi tersebut.

Faktor lain yang miris adalah menganggap guru adalah ladang pengabdian. Akibatnya gaji tinggi pada guru seolah tabu karena guru bukan profesi. Padahal jika dilihat sekilas seolah benar namun aslinya tidak tepat. Seharusnya guru dalam mencurahkan pengetahuan, tenaga dan pikiran sama dengan kerja-kerja yang perlu mendapat pesangon. Sedangkan medan juang mereka disebut pengabdian yang jika dinilai tidak sama dengan pabrik.

Dari fenomena itu kita memang segera menyadari bahwa guru selalu dipandang sebelah mata. Padahal peran serta kontribusi mereka besar bagi pendidikan. Mungkin guru akan ternilai jika mereka mengabdi tiada henti. Akan tetapi tidak adil jika pengabdian tak berujung penghargaan. Sedangkan penghargaan bagi guru adalah dengan mensejahterakannya.[]

the woks institute l rumah peradaban 25/11/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...