Langsung ke konten utama

Menjadi Pembaca Menjadi Penulis




Woko Utoro

Dalam aspek biologis membaca menjadi kecerdasan ketiga setelah mendengar dan bicara. Sedangkan dalam agama membaca menjadi perintah pertama. Karena wahyu pertama adalah membaca maka kecerdasan ini berposisi vital dalam Islam. Tentu yang dimaksud tidak sekadar membaca buku melainkan membaca dengan dimensi lebih luas.

Sudahkah kita layak sebagai mahluk pembaca? rasanya belum dan masih sangat jauh. Dalam konteks membaca buku saja manusia Indonesia masih terlampau jauh terlebih soal memahami, menelaah, menyimpulkan hingga mengkontektualkan. Padahal soal membaca ini peranya sangat vital bagi perkembangan suatu bangsa. Secara lebih sempit individu perlu memiliki aktivitas membaca. Karena membaca seseorang akan mendapatkan dampak luar biasa minimal dalam hal berpikir terlebih sikap dan tindakannya.

Membaca adalah aktivitas yang bisa dibilang wajib terlebih di dunia digital saat ini. Orang yang kurang bacaan akan lebih mudah terprovokasi oleh berita bohong. Orang yang tak pernah membaca lebih mudah terseok-seok untuk terkonstruk dalam narasi media. Sedangkan mereka yang suka baca akan membentuk persepsi serta daya kritis. Bacaan akan jadi pintu penghubung dalam memahami sesuatu. Dan terpenting bahwa bacaan adalah sumber inspirasi.

Orang yang banyak membaca pengetahuannya akan luas. Mereka akan mampu mengontrol emosi. Dari bacaan itu merupakan sumber tak terpisahkan dengan tradisi menulis. Orang yang ingin menjadi penulis tentu akan rajin membaca. Ibarat kata bacan adalah benih yang siap tanam sedangkan tulisan adalah tanaman itu sendiri. Semakin rajin membaca dan berlatih menulis seorang petani kata akan penen jika sudah tiba musimnya. Setidaknya dalam makna sederhana membaca dan menulis ibarat dua sisi mata uang.

Seseorang yang memiliki tradisi membaca dan menulis tentu akan lebih menghargai pengetahuan. Mereka akan terus mencari cara agar pengetahuan diproduksi dan disemai ke banyak orang. Karena hanya lewat pengetahuan lah dunia bisa dikenal. Salah satu cara mendapatkan pengetahuan adalah lewat membaca dan mengikatnya melalui menulis. Dari bacaan akan terbit tulisan.[]

the woks institute l rumah peradaban 17/11/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...