Langsung ke konten utama

Menjadi Pendengar Menjadi Penulis




Woko Utoro

Masyarakat kita masih menjadi masyarakat pendengar. Baik dalam tradisi tradisional maupun modern mendengar masih mendominasi merekam informasi. Perhelatan pengajian misalnya bisa kita temui hampir setiap hari. Sedangkan masyarakat berjubel masih ditaraf pendengar. Atau dalam tradisi modern saat ini orang mendengar radio sudah sangat minim. Saat ini orang sudah gandrung akan fenomena podcast yang menjamur.

Lantas dari fenomena itu di mana letak menulis sebagai tradisi keberaksaraan? Di sinilah jawabannya bahwa selain pendengar masyarakat kita juga masih berkutat dalam tradisi lisan yang kuat. Hampir setiap hari orang maniak bicara bahkan pada konteks lebih luas orang berebut kuasa. Siapa yang mampu mengartikulasikan zaman maka ia akan menang. Dalam kata lain siapa yang menguasai media, data dan retorika maka ia akan berjaya.

Orang zaman sekarang terlalu mudah kehilangan daya kritisnya. Akibatnya studi literatur ditinggalkan dan parahnya orang lebih percaya "katanya" daripada sumber rujukan utama. Andai saja para pendengar mau menangkap apa yang mereka dengar dengan tulisan pastinya sistem kroscek masih berlaku. Soal ini kita memang tidak bisa menyalahkan sepenuhnya. Kita hanya bisa memberikan edukasi bahwa mendengar bisa saja salah sekaligus benar.

Tidak salah jika tradisi ngaji kuping misalnya selalu berpotensi terjadi salah paham. Karena pendengaran manusia sangatlah terbatas. Hanya saja kita bisa mengalihkan bahwa topik mendengar bisa menjadi inspirasi seseorang untuk menulis. Misalnya di tengah berjamurnya kegiatan pengajian jika setiap orang sadar mencatat poin pentingnya pasti mereka akan mudah paham. Karena jika suatu saat lupa maka tulisan tersebut akan mengingatkannya.

Terlalu banyak hal yang kita dengar dan mudah kabur jika tidak diikat dalam tulisan. Jadi sangat jelas bahwa topik menulis begitu kaya salah satunya lewat apa hang kita dengar. Bisa jadi alunan kitab suci serta melodi suara hati menjadi topik tulisan yang menggugah. Tinggal bagaimana kita memfungsikan pendengaran sebagai sebuah ide untuk ditransformasikan dalam sebuah tulisan. Ingat tulisan bukan desas-desus.[]

the woks institute l rumah peradaban 15/11/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...