Langsung ke konten utama

Menjadi Pembicara Menjadi Penulis




Woko Utoro

Bicara adalah salah satu kecerdasan manusia sesudah mendengar, mengeja dan membaca. Siapapun orang pastinya bisa bicara bahkan sejak lahir mereka sudah diajari kosa kata. Karena bicara adalah kecerdasan pertama manusia maka selanjutnya kita berpikir bagaimana pembicaraan menjadi bermakna.

Salah satu kriteria pembicaraan yang bermakna adalah ketika pembicara memiliki pengetahuan memadai mengenai topik pembicaraan. Terlebih topik bicara yang dituliskan justru menjadi sebuah keunggulan. Ya, tidak setiap orang mampu sinkron antara bicara dan menulis. Ada tipe orang pandai bicara tapi macet ketika menuliskannya. Ada juga yang pandai menulis tapi kesulitan dalam menyampaikan ide dan gagasannya.

Memang menulis itu tak semudah bicara. Apa sebabnya menulis terkesan lebih sulit dari bicara. Sebuah anekdot berbunyi bahwa bicara itu antara lisan dan pikiran jaraknya dekat. Sehingga saat orang mampu berorasi, beretorika berarti pikiran dan lisan mereka berjalan beriringan. Selain karena faktor bacaan dan pengalaman bicara juga tidak harus ketat sesuai tanda baca.

Berbeda dengan menulis dan terasa tampak lebih sulit karena faktor pikiran lebih jauh dari jemari. Seorang penulis harus lebih berperan ganda dalam memilih kata dan mengartikulasikan pemahaman. Selain itu transformasi pengetahuan dari tradisi lisan ke tulisan juga membutuhkan proses yang cukup panjang. Dengan begitu menulis memiliki kerja-kerja ganda yang harus dirutinkan dan pastinya berbeda dengan bicara.

Lantas apa kendala orang menulis sejauh ini jika dibandingkan bicara. Selama ini penulis pemula mengeluh karena kesulitan mencari inspirasi dan membuat judul. Padahal lewat apa yang dibicarakan justru bisa menjadi topik segar. Apa yang dibicarakan misalnya kritik sosial, ceramah, pidato, diskusi hingga orasi bisa menjadi bahan untuk dituliskan. Intinya topik pembicaraan juga dapat selaras ketika mampu diikat dalam tulisan.

Orang yang pandai bicara seharusnya juga pandai untuk menulis. Karena sebagai penetrasi akan Tong Kosong Nyaring Bunyinya, maka menulis menganulir pepatah tersebut. Sehingga terjadilah bahwa menulis adalah seni membunyikan kata-kata. Dulu kata-kata nampak membisu namun ketika bahasa dituliskan bicaralah akhirnya. Terlebih jika tulisan maupun pembicaraan disertai dengan literatur, data, dan pengetahuan pastinya akan nampak bernilai.

Kadang baik bicara maupun menulis ditentukan seberapa besar kadar bacaanya. Semakin orang pandai membaca maka semakin enak pula pembicaraannya. Orang yang pengetahuannya luas akan mudah memahami lawan bicara. Mereka akan mudah memahami dan pastinya tidak gampang tersinggung. Termasuk menulis semakin kaya akan pengetahuan maka seorang pembaca akan lebih mudah memahami isi kepala penulisnya.

Terakhir ada sebuah pesan menarik bahwa bicaralah dengan hati. Sebelum bicara pikir terlebih dahulu. Karena tergelincirnya lisan lebih berbahaya dari tergelincirnya kaki. Selanjutnya tulislah apa yang kau bicarakan dan lakukan apa yang kau tulis. Niscaya semua hal dalam hidup adalah pembelajaran. Bahwa bicara itu ada seninya dan menulis itu bisa berawal dari apa yang dibicarakan. Ingat mari bicara dan kurangi prasangka terlebih rasan-rasan.

the woks institute l rumah peradaban 14/11/23

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...