Langsung ke konten utama

Catatan SPK Tulungagung Goes to SMPI Al Fattahiyyah 2




Woko Utoro

Siang itu suasana panas masih menyelimuti. Sepanjang jalan debu beterbangan. Angin pun nampak minim untuk berhembus. Kami pun berpacu dengan waktu bergegas menuju SMPI Al Fattahiyyah untuk mengisi sesi kedua dalam bincang literasi. Kendati perjalanan kami ngebut ternyata di sesi 2 ini kami telat. Maklum saja medan yang lumayan jauh ditambah bukan pembalap mengharuskan kami kalah oleh waktu.

Singkat kisah saya dan Mas Roni langsung tancap gas mengisi bincang literasi di edisi kedua. Kali ini bincang literasi bersama OSIS SMPI Al Fattahiyyah. Secara kuantitas lebih dari 15 siswa dan bertempat di area utama masjid. Secara terbuka di sini kami langsung berbincang dengan para siswa putra dan putri. Untuk materi pun berkaitan dengan puisi. Materi yang sebenarnya bukan bidang kami secara khusus.

Di awal Mas Roni bicara terlebih dahulu dan saya giliran kedua. Mas Roni tidak menjelaskan tentang puisi melainkan menulis secara umum. Menurutnya menulis adalah bagian dari kerja-kerja pengetahuan. Terlebih di usia anak atau remaja menulis bisa menjadi alternatif menyalurkan hobi. Dalam pemaparan baik Mas Roni maupun saya soal durasi tidak begitu lama karena di sesi ini kita ditarget untuk lebih banyak porsi praktek. Maka dari itu setelah materi usai kami langsung praktek membuat puisi.




Saya menjelaskan bahwa puisi adalah karya sastra modern sedangkan yang lama adalah pantun, gurindam, talibun, seloka, karmina hingga syair. Jika bicara puisi kita akan bersinggungan dengan perasaan. Maka orang yang sadar akan perasaannya akan mudah menyalurkan pada karya salah satunya lewat puisi. Dalam diskursus psikologi kita mengenal katarsis yaitu sebuah istilah untuk menyalurkan emosi sebagai metode melepaskan masalah. Puisi adalah salah satu wadah untuk menyalurkan emosi tersebut.

Sujiwo Tejo pernah mengatakan bahwa sangat merugi jika di saat hujan, air mata tak jadi puisi. Itu tanda bahwa puisi bisa jadi alternatif untuk menyalurkan emosi batin. Secara lebih umum menulis dalam genre apapun bisa menjadi metode penyembuhan. Terlebih penyakit anak-anak remaja modern selalu dilingkupi rasa galau, tidak sabaran, kepo, mudah tercengang (gumunan), labil dan bersikap instan. Di sinilah saya menekankan pada peserta bahwa tidak rugi jika kita menapaki jejak kepenulisan.

Saya sadar bahwa menulis puisi itu tidak semudah yang dibayangkan. Hal itu dirasakan juga oleh peserta di mana waktu hampir 2 jam terasa tidak cukup untuk melahirkan satu puisi. Kesadaran bahwa puisi memang bukan bahasa lisan. Puisi adalah bahasa hati dan perasaan. Atau menurut ahli puisi adalah bahasa yang dipadatkan, HB. Jassin menyebutnya puisi ialah bahasa yang ditaburi metafora. Itulah yang membuat puisi menjadi hidup karena terdapat majas. Dengan puisi bendawi yang mati bisa hidup. Lewat puisi pesan terselubung bisa disampaikan tanpa perlu menyebutkannya. Dengan puisi kita akan tahu seberapa lembutnya hati ini.

Demikian sekilas yang saya sampaikan. Setelah itu jeda istirahat dan para peserta berhamburan masuk ke kamarnya masing-masing. Kami pun shalat dzuhur dan disambung dengan ngopi. Kami sempatkan ngopi karena waktu istirahat lumayan panjang. Hingga akhirnya kami masuk kembali dan membacakan sekaligus mengoreksi puisi yang sudah jadi. Ternyata di luar dugaan banyak para peserta yang puisinya bagus. Hingga akhirnya kami pun berfoto lantas pamit undur diri.[]

the woks institute l rumah peradaban 11/11/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...