Langsung ke konten utama

Belajar Puas Belajar Kedalaman





Woko Utoro 

Sejak dulu tabiat manusia itu selalu tak pernah puas. Apalagi jika soal kebutuhan materi pasti tak ada puasnya. Puas di sini tentu diartikan rasa cukup. Rasa cukup yang hanya orang tertentu saja yang dapat mengaplikasikannya.

Bicara puas atau rasa cukup memang tak ada ujungnya. Bahkan dalam hadits dijelaskan sekalipun Gunung Uhud dijadikan emas untuk memuaskan manusia niscaya tak akan pernah merasa cukup.

Rasa cukup atau puas mungkin subjektif. Akan tetapi sikap tersebut perlu dilatih sejak dini. Karena kepuasan selalu berkaitan dengan kebutuhan manusia. Biasanya orang yang tak pernah puas cenderung menguasai. Kita ambil contoh beberapa kasus korupsi dengan nilai fantastis di Indonesia salah satu faktornya adalah ketidakpuasan serta kurangnya rasa syukur.

Menurut Abraham Maslow dalam Teori Hierarki Kebutuhan bahwa hal pertama yang harus dipenuhi manusia adalah kebutuhan dasar atau fisiologi. Kebutuhan fisiologi itu seperti makan, minum, bernafas, tidur, oksigen hingga kebutuhan seksual. Akan tetapi di Indonesia ada orang yang tega korupsi triliunan padahal kebutuhan dasarnya sudah final. Misalnya mereka makan enak, ganti menu tiap hari, pakai baju gonta-ganti dan bagus, kendaraan mewah, rumah megah, terkenal, tajir, dll. Tapi masih saja melakukan korupsi maka bisa jadi mental dan jiwa mereka tengah sakit.

Orang-orang tersebut seperti tidak memiliki perasaan untuk cukup dan puas. Padahal si miskin menemukan makan satu bungkus saja bersyukur nya luar biasa. Maka dari itu jelas bahwa kekayaan atau kemiskinan bertumpu pada sikap dan cara pandang terhadap dunia. Jika orang berpangkal pada syukur dan gampang puas maka orang tersebut layak disebut kaya.

Pepatah Arab mengatakan "Laysa al-ghina 'an katsrah al-'aradhi wa lakinna al-ghina ghina al-nafs". Orang kaya itu bukan karena banyaknya harta, tetapi ia yang kaya hati, suka berbagi, menolong dengan jiwa raga dan harta. Orang kaya adalah orang yang selalu merasa cukup. Harta yang dia terima dinilainya sebagai kelebihan yang harus ditasyarufkan pada orang lain. Ketika seseorang telah menjadi kaya namun tetap senang menyimpan harta, sejatinya ia adalah orang miskin, yang selalu merasa kurang, tidak pernah puas dan cukup.

Maka dari itu kita perlu belajar tentang rasa puas. Karena rasa puas, cukup dan nriman adalah sikap yang memiliki substansi begitu dalam. Jika seseorang telah mengerti dan menerapkan rasa puas maka ia cenderung mudah berbagi dan tak ingin menguasai.[]

the woks institute l rumah peradaban 6/11/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...