Langsung ke konten utama

Spektrum




Woko Utoro

Setiap orang punya masalah. Setiap orang juga dibekali bagaimana cara menghadapi masalah. Tapi tidak semua orang mengerti bagaimana menyikapi masalah. Besar atau kecil masalah tetaplah harus diselesaikan. Barangkali itulah cara agar kita menjadi dewasa. 

Di hadapan masalah perempuan cenderung bercerita sampai memilih menangis. Sedangkan di depan masalah laki-laki cenderung berdiam, menepi hingga menulis. Itulah sekian cara sekaligus perbedaan mengapa laki-laki dan perempuan tercipta begitu unik. Mereka memilih medianya sendiri untuk memecah kebuntuan. Dalam ilmu psikologi keberadaan media itu disebut katarsis. 

Katarsis adalah kemampuan seseorang menyalurkan emosinya. Baik itu bernilai positif atau negatif yang jelas melalui kesadaran manusia diberi kemampuan memilih. Salah satu media penyalur emosi adalah dengan menulis puisi. Entah diyakini atau tidak menulis puisi mampu setidaknya menenangkan pikiran yang sedang kalut. Walaupun di beberapa kesempatan sebagian orang menolak puisi sebagai media penyembuhan. Alasannya mereka akan cengeng dan selalu gagal move on akibat mengingat kembali karya puisi itu. 

Perbedaan tentu boleh saja terjadi. Termasuk memilih puisi sebagai spektrum menyalurkan emosi dalam diri. Yang jelas bagi saya puisi adalah sekumpulan perasaan yang diperas menjadi padat membentuk kata-kata. Dengan cara itulah rongsokan dalam tubuh terbuang dan membuat hati menjadi plong. Itulah yang kami sebut bahwa menulis puisi bagian dari terapi jiwa. Karena syarat menulis puisi anda harus dalam keadaan tenang walaupun dipenuhi kecemasan. Sedangkan syarat membacanya pun juga harus dalam keadaan tenang dan damai. Dengan begitu energi positif dari Tuhan akan menyerap ke dalam diri sambil sesekali berbisik, "Tenanglah, engkau tidak sendiri. Di sini masih ada Aku tempat bersandar mu dari segala resah gelisah. Aku adalah muara akhir di mana kebahagiaan saling bertemu (setelah kesulitan selalu ada kemudahan, Al Insyirah:5-6). []

The Woks Institute | Rumah Peradaban 18/11/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...