Langsung ke konten utama

Tak Ingin Dipisahkan Dari Umat




Woko Utoro

Saya pernah ditanya enak mana mengajar mahasiswa atau anak-anak. Saya tentu menjawab yang kedua. Mahasiswa mungkin mudah untuk diajak diskusi dan tidak membuat gaduh. Tapi anak-anak lebih mengasyikkan dan penuh tantangan. Selain itu dunia anak selalu menyuguhkan hal-hal tak terduga. Misalnya kelucuan, keluguan, natural dan suka usil atau iseng.

Mungkin dunia anak lebih melelahkan dan perlu energi berganda dalam menghadapinya. Tapi hal itu lebih dimaknai sebagai kepolosan atau ketidaktahuan. Akan tetapi kadang ada juga mahasiswa yang bersikap seperti kekanak-kanakan dan hal itu yang lebih menyedihkan. Maka saya sering berpikir untuk tidak ingin jauh dari mereka dunia anak.

Bicara tidak ingin jauh dari anak-anak kita tentu ingat kisah luar biasa yang hampir serupa yaitu Baginda Nabi Muhammad SAW dan umatnya. Kita tahu tentu kasih dan sayangnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW seluas samudera bahkan lebih. Bayangkan saja di akhir hayat beliau menyebut-nyebut nama umatnya.

Dalam tafsir Surah ad Dhuha, KH Said Aqil Siradj sering menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah resah karena sebagian umatnya diperlihatkan berada di neraka. Hingga akhirnya Allah SWT menghibur beliau seraya akan mengabulkan yang diinginkan Nabi Muhammad SAW. Ternyata permintaan Nabi Muhammad SAW luar biasa yaitu memastikan umatnya selamat di dunia dan akhirat.

Salah satu ciri khas Nabi Muhammad SAW adalah عزيز عليه ما عنتّم حريص atau berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami (at Taubah ayat 128). Kata حريص tersebut menurut Gus Mus menandakan bahwa kasih sayangnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW itu seluas samudera. Beliau tidak ingin umatnya merasakan penderitaan yang amat sangat. Bahkan jika boleh seluruh penderitaan itu beliau yang menanggungnya. Jadi jelas bahwa Nabi Muhammad SAW itu benar-benar tidak ingin jauh dari umatnya.

Hanya saja di akhir zaman ada sekelompok orang aneh kata Gus Baha. Yaitu mereka yang mudah melabeli kafir saudaranya. Mereka mudah melabeli kafir dengan ayat atau risalah Nabi-Nya. Misalnya mengucapkan لا إله إلّا اللّه dianggap kafir hanya karena diucapkan di kuburan. Padahal niat di kuburan tidak meminta apapun selain mendoakan ahli kubur. Jadi unik, padahal Kanjeng Nabi Muhammad SAW membolehkan ziarah kubur. Inilah faham unik yang ingin memisahkan umatnya dengan kalam yang dibawa oleh nabi. Padahal rumusnya jelas bahwa Kanjeng Nabi Muhammad SAW tidak ingin berpisah dari umatnya.

Hal itu juga mungkin berlaku bagi saya bahwa saya tidak ingin berpisah dari dunia anak. Dunia yang sejak lama saya bela dan saya lalui dengan bahagia. Bisa dibayangkan jika kebahagiaan saya direnggut hanya karena dianggap tidak menghasilkan materi. Apa kata dunia?[]

the woks institute l rumah peradaban 20/11/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...