Langsung ke konten utama

Mengaji Sebagai Investasi Masa Depan




Woko Utoro 

Melihat fenomena media sosial saat ini ada beberapa konten yang perlu disyukuri yaitu perihal ngaji. Anda pasti tahu ngaji menjadi salah satu aktivitas utama di media sosial selain hiburan dan meraup cuan. Ngaji begitu tercecer dan mudah kita jumpai apalagi berseliweran di beranda tiap hari. Jika dibandingkan jaman dulu ngaji hanya dinikmati sebagian orang.

Kini ngaji justru dinikmati oleh setiap orang di manapun dan kapanpun. Tapi itu pun perlu pemahaman bahwa mendalami agama tidak cukup lewat media sosial. Media sosial hanya menjadi unsur menambah pengetahuan saja sedangkan mendalami agama adanya di pesantren. Dengan sanad guru, kitab dan metode yang jelas.

Fenomena merebaknya kajian keagamaan menjadi angin segar bagi terciptanya masyarakat yang gandrung akan pengetahuan. Pengetahuan agama tidak lagi bersifat eksklusif. Justru lewat ngaji lah keterbukaan memungkinkan orang bisa berpikir kritis dan jernih. Jika sudah demikian kita optimis ngaji menjadi metode ampuh mengkonstruksi masyarakat agar lebih dewasa menyikapi perbedaan.

Hal terpenting bahwa ngaji memiliki investasi jangka panjang. Salah satu hal menarik bahwa tujuan ngaji itu agar kita aji atau bernilai. Sebab al Qur'an menyebutkan jika orang mengaji akan ditinggikan derajatnya. Orang yang ngaji akan dimudahkan dalam pemahaman agama. Orang yang ngaji akan dimudahkan jalannya menuju surga.

Selagi di dunia pun kita berniat bahwa ngaji bertujuan untuk mendapatkan keberuntungan akhirat. Karena keberuntungan dunia hanya bersifat materi semata. Sedangkan keberuntungan akhirat bisa lebih dari itu. Misalnya dimudahkan rezekinya, dipanjangkan umurnya dalam ketaatan, dijauhkan dari marabahaya, dan disehatkan dhohir batinnya.

Melalui keberuntungan akhirat lah seseorang belajar optimisme akan masa depan. Sebab esok hari masa depan begitu mencemaskan. Dunia tidak lagi bisa diprediksi dan mudah mengecoh. Maka dari itu ngaji menjadi tameng utama seseorang meningkatkan kualitas dirinya. Dengan ngaji seseorang akan aji, dan lebih mawas diri.[]

the woks institute l rumah peradaban 7/11/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...