Langsung ke konten utama

Obituari : Ang Surakman dan Bunga Keabadian




Woko Utoro

Kemarin sekitar pukul 09:15 pagi kabar duka datang dari grup WhatsApp. Seperti biasa kabar duka selalu datang mengangetkan. Lebih lagi kabar tersebut datang dari senior kami Kang Surakman. Saya memanggil beliau Ang Surak.

Tentu kabar tersebut juga mengagetkan banyak orang. Terkhusus mereka yang pernah kenal dan berinteraksi dengan beliau. Saya menjadi satu dari sekian orang beruntung bisa kenal dan pernah komunikasi dengan beliau. Walaupun pertemuan kami terbilang singkat tapi kesan istimewa hingga kini tak pernah sirna.

Ang Surak begitu saya kenal namanya sejak duduk di bangku MTs. Saat itu Ang Surak menjadi salah satu tamu istimewa utusan MA Nurul Hikmah Haurgeulis dalam acara turun galang. Saya tentu mendapat ilmu dari teman dekatnya sekaligus kakak saya yaitu Ang Daryana. Kebetulan Ang Surak dan Ang Daryana adalah teman akrab. Hingga akhirnya kami dipertemukan kembali di bawah atap yang sama yaitu MANHIK (MA Nurul Hikmah Haurgeulis).

Saya dan Ang Surak terpaut 3 tahun. Kebetulan saya masuk Aliyah angkatan 23 sedangkan Ang Surak angkatan 20. Jadi ketika saya masuk Aliyah Ang Surak dkk lulus dari sana. Akan tetapi komunikasi kami masih terjalin terutama ketika Aliyah atau MTs NH Gantar memiliki acara baik Pramuka maupun OSIS. Dari perjumpaan singkat itu saya belajar pada sosok Ang Surak yang luar biasa.

Setidaknya ada 3 hal kunci yang dapat saya ambil sebagai hikmah dari perjumpaan dengan Ang Surak. Pertama, kepribadian Ang Surak itu supel, blater, humoris dan pastinya kaya akan pengetahuan. Orang yang berada di dekat Ang Surak pastinya mudah tertawa karena memang orangnya lucu. Beliau tipe orang yang terbuka dan tidak mudah baperan. Bahkan dalam guyonan pun membuat siapa saja mikir. Jadi kadangkala Ang Surak lebih sering melontarkan jokes sekaligus membuat orang cerdas karena berpikir.

Kedua, awal saya kenal Ang Surak dari acara Pramuka. Ang Surak diperkenalkan oleh Ang Daryana dan Ang Wahyudin pada kami. Saya tentu salah seorang yang kagum padanya. Pasalnya untuk ukuran orang desa Ang Surak kaya akan pengetahuan. Ternyata ketika saya kenal di Aliyah Ang Surak memang tipikal pembaca buku. Hal itu juga yang mendasari saya suka membaca dan menulis.

Jadi sedikit banyaknya, Ang Surak mengilhami saya untuk terus berliterasi. Jika kita kenal Ang Surak pasti ada banyak pengetahuan yang baru kita dapat. Ada kosa kata baru yang baru kita dengar dan hal itu sungguh mengesankan. Tak jarang pula postingan di medsos terutama FB Ang Surak berpihak pada buku dan kalimat yang mengandung inspirasi.

Ketiga, saya belajar konsistensi pada Ang Surak. Seperti yang kita ketahui kecintaan Ang Surak pada dunia militer dan kepolisian luar biasa. Selain sangat menjiwai Ang Surak juga membubuinya dengan ilmu. Misal saya pernah menyaksikan Ang Surak menjelaskan tipe atau jenis-jenis Shot Gun lengkap dengan nomor serinya. Baik itu tipe senjata laras panjang, pistol hingga peledak ternyata Ang Surak hafal.

Ketika kami meragukan cita-cita Ang Surak ingin menjadi tim Densus 88. Ternyata beliau dengan santai mengatakan, "Sing tenang bae Wok kabeh kuh ana koncine. Urip baka due konci dadi santai bli ya" kata-kata itulah barangkali yang saya ingat hingga kini. Intinya bukan soal tercapainya cita-cita tapi lebih kepada menghargai proses.

Kini orang yang sering berkata, "Hadapi saja kapten" itu telah pergi. Tentu banyak kesaksian dari orang-orang bahwa Ang Surak adalah orang baik. Ibarat bunga seribu di taman ada satu yang indah dan dia adalah Ang Surak. Orang baik memang selalu punya cara untuk pulang lebih dahulu. Tidak peduli awalnya Ang Surak sakit atau tidak yang jelas Ang Surak tidak mati, ia hanya pergi sejenak dan esok pasti akan kembali.

Terakhir saya kutip dari FB Ang Surak bahwa "Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya, tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar terimalah dan hadapilah". Barangkali itulah kondisi terkini Ang Surak, menjelma bunga keabadian tumbuh di sisi Tuhan dengan segala kesederhanaan. Husnul khatimah Ang, Lahul fatihah.[]

the woks institute l rumah peradaban 22/11/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...