Langsung ke konten utama

Memaknai Jalan dan Ketersesatan




Woko Utoro

Pernah dengar anekdot mengapa kiai/gus ada yang sedikit mbeling. Ternyata jawabannya kata Gus Dur, karena mereka mengerti caranya bertaubat. Pertanyaan itu senada dengan, mengapa huffadz Qur'an ngajinya begitu cepat. Lagi-lagi jawabannya berkaitan dengan jalan. Penghafal Al-Qur'an saking mengertinya isi dan ayat Qur'an maka mereka tahu caranya ngebut.

Bicara jalan tentu berkaitan dengan pengetahuan dan jam terbang. Orang yang pengetahuannya luas tak akan takut tersesat. Orang yang jam terbangnya tinggi tak akan pernah ragu menentukan keputusan. Contoh lain misalnya pembalap mengapa seolah putus urat takutnya sedangkan yang ada hanya keberanian. Tentu hal itu berdasarkan pengetahuan, teknik, penguasaan medan dan pastinya jam terbang. Bukankah pengalaman adalah guru terbaik.

Berkaitan dengan hal itu tentu banyak sekali contohnya. Misalnya lagi sopir angkutan umum yang menantang maut dengan kecepatan tingginya itu pun akibat dari panjangnya perjalanan. Semakin mereka lama melakukan perjalanan, menaik dan turunkan penumpang maka makin tahu juga trayek yang dituju. Koki atau chef pun demikian, mereka sudah terlalu biasa menentukan bumbu atau perisa makanan baik itu garam, gula maupun kecap dan saus. Semua sudah menjadi hal biasa dan tanpa perlu adanya buku panduan atau alat ukur.

Begitulah kiranya dalam hal berguru. Seorang guru akan tahu kemampuan muridnya. Terutama guru ruhani mereka tidak hanya memastikan keselamatan murid di dunia tapi hingga ke akhirat. Guru-guru yang demikian tentu telah mengerti jalan ke mana harus melangkah. Sehingga jalan menuju Allah SWT mudah atau berliku. Semua bergantung dengan rabithah murid kepada gurunya. Semakin yakin murid dengan gurunya maka akan sangat mudah melewati jalan ketuhanan.

Orang yang sudah mengerti jalan maka tak akan takut tersesat. Bahkan cenderung berlari begitu cepat. Tinggal bagaimana penumpang apakah kuat atau menyerah. Inilah jalan yang selalu menyuguhkan pelajaran. Jika pun misalnya kita pernah tersesat toh pada akhirnya setiap perjalanan selalu menyuguhkan tempat tujuan. Tempat di mana kita akan berakhir dan berlabuh. Sedangkan jalan terakhir manusia adalah kembali kepadaNya. Maka dari itu agar selamat kita memerlukan pemandu sekaligus pengemudi untuk menghantarkan ke tempat kembali terbaik yaitu Allah SWT. Para juru kemudi itu tak lain adalah guru ruhani kita, ulama, kiai.[]

the woks institute l rumah peradaban 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...