Langsung ke konten utama

Kisah-kisah Lebaran : Menjawab Pertanyaan Problematik




Woko Utoro


Di setiap momen lebaran selalu ada yang unik. Atau setidaknya ada kisah yang perlu untuk dicatat sebagai pembelajaran. Salah satu hal menarik adalah soal pertanyaan. Kita tentu tahu pertanyaan apa saja yang sering muncul ketika momen lebaran. Pertanyaan dari mulai kapan nikah, punya anak belum, hingga kerja di mana sudah sangat familiar di telinga. Cuma kita kadang berpikir pertanyaan macam apa dan mengapa selalu muncul di kala lebaran.


Dari beragam pertanyaan itu kadang kita berpikir mengapa pertanyaan terkait pribadi selalu muncul. Apa kontribusi seseorang sehingga pertanyaan itu ditanyakan. Atau atas dasar apa kita harus menjawab pertanyaan itu. Mengapa orang begitu ingin tahu akan kehidupan pribadi seseorang. Apa karena atas dasar peduli, kepo atau iseng dan kadang berujung guyonan serta bullying.


Dari hal itu lebih jauh kita langsung tersadar bahwa hidup di lingkup sosial memang beresiko. Apapun itu semua memiliki resiko tersendiri termasuk pertanyaan problematik tersebut. Salah satu yang tak kalah menarik dari pertanyaan tersebut adalah kapan pulang? Mungkin pertanyaan itu ditujukan bagi mereka yang berpredikat Bang Toyib. Atau sudah sekian purnama tak mengunjungi kampung halaman.


Bicara kapan pulang memang bervariatif jawabannya. Bisa saja karena ada hal urgent yang menjadi alasan mengapa orang tidak pulang. Ada juga karena kontrak kerja hingga problem keluarga. Di lapangan saya menemukan ada kisah seorang anak tidak mengunjungi kampung halamannya. Ternyata usut punya usut si anak tersebut dilarang oleh orang tuanya dengan alasan keamanan. Si orang tua tidak ingin anaknya terpengaruh oleh omongan tetangga. Karena dulu ada aib tertentu yang membuatnya harus jauh dari keluarga. Intinya di kisah ini sangat kompleks dan dramatis.


Ada juga kisah cucu yang tidak boleh bertemu orang tua kandungnya oleh sang nenek. Alasannya sejak kecil ia telah ditelantarkan dan dirawat oleh sang nenek. Serta beragam kisah lainnya yang kadang saya sendiri bingung. Mengapa harus se dramatis itu kisah-kisah kehidupan. Selain itu saya juga mendapat kisah seseorang yang ngebet mendapat anak perempuan. Singkat kisah hingga anak mereka berjumlah 5 orang dan semua laki-laki.


Kata si bapak menenangkan istrinya, "sudah lah bu, anak laki-laki maupun perempuan sama saja". Si ibu memang ingin anak perempuan dengan harapan bisa merawat orang tua kala sudah sepuh. Apalagi anggapan si ibu jika anak laki-laki itu minim kasih dan kepekaannya. Tapi faktanya ternyata baik anak perempuan maupun laki-laki juga sama. Jika si anak berkasih sayang pada orang tuanya tentu akan selalu memiliki waktu untuk mereka bagaimana pun keadaannya. Sekalipun jarak dan waktu memisahkan toh orang tua adalah rumah tempat anak-anak akan kembali.


Terakhir menjawab judul di atas mengapa orang suka bertanya terkait kehidupan personal? jawabannya adalah karena kita tidak bisa menghindar dari kehidupan komunal. Kehidupan kolektif di mana masyarakat itu berkelompok. Jika pertanyaan itu tidak ada bisa jadi kehidupan kita memang individualis. Maka dari itu jika pertanyaan personal itu datang jawab saja dengan singkat dan senyuman. Anggap saja semua hal adalah dalam rangka mendewasakan diri. Jika pertanyaan itu tidak ada hidup mungkin kurang berwarna. Jadi emang kapan anda akan nikah? saya tentu akan jawab dengan lantang, "besok kalau tidak kesiangan".[]


Selamat berlebaran, jangan lupa saling bermaafan. :)


the woks institute l rumah peradaban 11/4/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Bukber PKBM Pilar Papat Panggungrejo

Woko Utoro Dua hari sebelum hari raya saya diundang oleh Pak Toni yang tak lain merupakan founder PKBM Pilar Papat Panggungrejo. Kami kenal begitu singkat yaitu saat beliau narik ojek online Maxim. Ya, Pak Toni adalah driver Maxim sekaligus teman baru saya yang bertemu ketika mengantar teman sepulang dari rumah sakit. Singkat kisah Pak Toni bercerita seputar kegiatan pengelolaan pendidikan khusus anak berkebutuhan. Hingga akhirnya pertemuan kami berlanjut di warung kopi depan Bravo. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga akhirnya sampai di tanggal 8 April saya diajak untuk hadir dalam acara metri atau launching PKBM Pilar Papat. PKBM Pilar Papat merupakan pusat kegiatan belajar menyenangkan yang didirikan Pak Toni bersama beberapa kawannya. PKBM Pilar Papat terletak di Desa Panggungrejo arah Karangduren menuju SMA 1 Tulungagung. Atau selatannya PP Al Istighotsah Panggungrejo. Menurut Pak Toni PKBM Pilar Papat tersebut didirikan atas kesadaran bahwa ada anak-anak yang butuh perhatian khusus.

Catatan Srawung Buku Anak Merdeka di Warkop Ngaji Ngopi

Woko Utoro Saya sangat senang ketika bergabung dalam acara Srawung Buku. Kebetulan saya bertindak sebagai penanggap buku. Sebuah tugas yang tentunya kali pertama ini saya kerjakan. Sebelumnya saya hanya sebagai moderator ataupun narasumber. Tapi ini menjadi pembelajaran buat saya kedepannya. Agar selalu siap dalam berbagai posisi.  Mba Fafa sebagai founder Komunitas Belajar Melati Sinebar sekaligus moderator acara Srawung Buku mengajak saya bersama narasumber lainnya dalam diskusi. Di antaranya penanggap buku pertama yaitu Mba Deni (Founder Komunitas Aku Bisa Menulis (ABM) dan tentunya penulis buku Anak Merdeka Mas Narno dan Mba Ulya.  Malam itu di warung Ngaji Ngopi kami pun berdiskusi begitu gayeng. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya kami bicara seputar buku Anak Merdeka. Buku yang ditulis terutama ketika masa pandemi. Buku yang dalam hemat saya menarik dan perlu terus dikembangkan.  Buku Anak Merdeka berisi catatan pengasuhan anak yang memerdekakan. Pengasuhan