Langsung ke konten utama

Mengakrabi Arti Sebuah Rezeki




Woko Utoro

Malam itu setelah isya saya menyempatkan sowan ke ndalemnya Pak Yohan di perum Ghraha Asri Utomo Ringinpitu. Kebetulan saat itu saya dan beliau baru usai menghadiri acara seribu hari tetangga perumahan. Hingga akhirnya momen langka tersebut tidak saya sia-siakan. Tentu sowan malam itu tak ada niatan lain selain silaturahmi karena sudah lama tidak bertemu.

Memang pertemuan kami selalu terbatas hingga 10 hari di akhir Ramadhan. Karena selepas itu beliau mudik bersama anak istri ke Nganjuk. Maka kesempatan beliau ada di rumah saya gunakan ya semacam sharing meminta pendapat khususnya perihal kehidupan. Seperti mayoritas orang yang saya temui hal yang menarik adalah wejangannya. Hal itulah yang bisa menjadi bekal dikemudian hari.

Berkaitan dengan wejangan saya memang berpijak pada maqola "undzur maqola wala tandzur manqola" jadi jangan lihat siapa orang yang mengatakan tapi lihatlah apa yang dikatakan. Sehingga bagi saya nasihat kebaikan dari siapapun datangnya pasti akan saya catat. Syukur-syukur setelah itu saya dapat mengamalkannya. Sebagai mahluk pelupa maka menulis nasihat adalah kuncinya. Kebetulan lagi dan lagi wejangan kali ini penuh diwarnai topik asmara. Sampai-sampai saya berpikir "opo yo wes wayah e tenan to?".

Soalnya saya sering berpikir demikian setiap saya berkunjung ke rumah seseorang topik tentang asmara dan rumah tangga menjadi tak pernah absen. Bersama Pak Yohan malam itu pun salah satunya. Ohh iya, Pak Yohan adalah guru di SMA Islam Sunan Gunung Jati Ngunut. Perkenalkan kami mungkin terjadi sekitar 2 tahun lalu di mana saya diminta untuk mengajar TPQ di mushola perumahan dan kebetulan di sana terdapat putra beliau.

Langsung saja ini wejangan beliau terkait asmara dan secara khusus problematika rezeki. Kata Pak Yohan jika sudah tiba waktunya jodoh itu seperti air, tidak bisa dibendung. Ia akan mengalir ke dataran terendah. Atau ibarat pepatah sepandai-pandainya tupai meloncat ia meloncat juga. Sepintar-pintarnya orang menyembunyikan perasaan lama-lama tercium juga. Kata Prof Quraish Shihab jika memiliki perasaan itu sampaikan jangan dipendam. Dulu Sayyidah Khadijah juga demikian kepada Nabi Muhammad SAW walaupun disampaikan lewat pembantunya Maisyaroh.

Jika seseorang sudah mantep untuk melangkah ke depan maka segera pastikan. Jangan ditunggu berlama-lama karena kepastian itu mahal harganya. Jangan sampai seperti kebanyakan orang hanya menunggu jodoh temannya. Maka dari itu memastikan adalah cara agar hubungan tetap berlanjut. Baik perempuan maupun laki-laki sebenarnya sudah saling membutuhkan. Mereka tidak mungkin hidup sendiri. Dalam konteks bekerja pun begitu lantas untuk siapa motivasi utamanya bila bukan untuk pasangan (keluarga).

Kata Pak Yohan bisa dibayangkan kita bekerja padahal sejak pagi hingga sore mungkin terasa lelah. Tapi ketika pulang ke rumah rasa capek itu hilang seketika di saat melihat anak dan istri. Maka berumah tangga itu juga merupakan kebutuhan akan kesempurnaan hidup. Jadi jika sudah siap tidak usah menunggu mapan dalam arti kaku. Kita hanya perlu mengatakan perasaan pada diri sendiri lalu sampaikan ke pada keluarga pasangan. Di sinilah beliau juga berkisah bahwa tiap orang tidak boleh dihakimi cuma karena misalnya belum bekerja mapan.

Setiap orang itu memiliki jatah rezekinya tersendiri. Misalnya ada orang yang rezekinya menikah didahulukan. Ada yang rezekinya anak. Ada yang rezekinya berupa keilmuan, pertemanan hingga pekerjaan. Jadi tidak bisa mengklaim seseorang hanya karena belum sesuai dengan keumuman. Dalam hal sosial memang begitu kadang tidak sesuai. Terlebih cara pandang agama itu unik. Misalnya ada rezeki berupa pekerjaan yang didapat setelah menikah. Ada yang belum mendapat rezeki menikah tapi ia mendapat kesempatan rezeki berupa beasiswa. Ada yang mendapat rezeki menikah tapi belum mendapat rezeki keturunan dll. Jadi banyak sekali kemungkinan dalam hidup.

Rezeki itu tidak selalu berupa uang. Maka soal mapan atau tidak itu tergantung pada niat. Jika memang sudah siap biasanya Allah akan membuka kan jalan. Dulu Pak Yohan juga pernah berkisah jika beliau hanya memiliki uang 550 ribu dari gajinya. Itu pun dirinci dengan 400 membayar kredit motor sedangkan 150 untuk keluarga anak satu. Jika secara logika nominal tersebut tidak cukup tapi hidup ini bukan soal nominal. Hidup ini soal komitmen bersama dan pada akhirnya selalu ada jalan. Beliau juga berkisah haru jika mengingat masa lalu. Tapi akhirnya semua telah dilewati hingga kini.

Siapa juga orang yang tidak ingin bahagia. Semua pasti ingin bahagia terlebih jika sudah bicara keuangan. Tapi hal itu tidak juga menjadi alasan untuk seseorang berhenti berharap. Selama kita bekerja keras pasti semua akan terjawab. Perlu diingat bahwa semua hal itu perlu adanya proses. Jadi nikmati saja prosesnya. Sekaligus keberuntungan bukan ditentukan oleh proses kita tapi murni semata karena rahmat Allah sang maha pemurah.[]

the woks institute l rumah peradaban 26/4/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Bukber PKBM Pilar Papat Panggungrejo

Woko Utoro Dua hari sebelum hari raya saya diundang oleh Pak Toni yang tak lain merupakan founder PKBM Pilar Papat Panggungrejo. Kami kenal begitu singkat yaitu saat beliau narik ojek online Maxim. Ya, Pak Toni adalah driver Maxim sekaligus teman baru saya yang bertemu ketika mengantar teman sepulang dari rumah sakit. Singkat kisah Pak Toni bercerita seputar kegiatan pengelolaan pendidikan khusus anak berkebutuhan. Hingga akhirnya pertemuan kami berlanjut di warung kopi depan Bravo. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga akhirnya sampai di tanggal 8 April saya diajak untuk hadir dalam acara metri atau launching PKBM Pilar Papat. PKBM Pilar Papat merupakan pusat kegiatan belajar menyenangkan yang didirikan Pak Toni bersama beberapa kawannya. PKBM Pilar Papat terletak di Desa Panggungrejo arah Karangduren menuju SMA 1 Tulungagung. Atau selatannya PP Al Istighotsah Panggungrejo. Menurut Pak Toni PKBM Pilar Papat tersebut didirikan atas kesadaran bahwa ada anak-anak yang butuh perhatian khusus.

Catatan Srawung Buku Anak Merdeka di Warkop Ngaji Ngopi

Woko Utoro Saya sangat senang ketika bergabung dalam acara Srawung Buku. Kebetulan saya bertindak sebagai penanggap buku. Sebuah tugas yang tentunya kali pertama ini saya kerjakan. Sebelumnya saya hanya sebagai moderator ataupun narasumber. Tapi ini menjadi pembelajaran buat saya kedepannya. Agar selalu siap dalam berbagai posisi.  Mba Fafa sebagai founder Komunitas Belajar Melati Sinebar sekaligus moderator acara Srawung Buku mengajak saya bersama narasumber lainnya dalam diskusi. Di antaranya penanggap buku pertama yaitu Mba Deni (Founder Komunitas Aku Bisa Menulis (ABM) dan tentunya penulis buku Anak Merdeka Mas Narno dan Mba Ulya.  Malam itu di warung Ngaji Ngopi kami pun berdiskusi begitu gayeng. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya kami bicara seputar buku Anak Merdeka. Buku yang ditulis terutama ketika masa pandemi. Buku yang dalam hemat saya menarik dan perlu terus dikembangkan.  Buku Anak Merdeka berisi catatan pengasuhan anak yang memerdekakan. Pengasuhan