Langsung ke konten utama

Penutupan Ta'lim Ramadhan dan Peringatan Nuzulul Qur'an




Woko Utoro


Peringatan malam nuzulul Qur'an di akhir Ramadhan memang nikmat. Kita diajak kembali menyelami sejarah yang tak boleh terlupakan. Sejarah tentang peristiwa turunya kitab suci umat Islam. Sejarah yang makin hari diabaikan oleh umat Islam padahal peristiwa itu tonggak dari awal peradaban baru. Begitulah Bunda Salamah mengawali muqadimahnya dalam isian mauidhoh hasanah.


Acara penutupan dan peringatan nuzulul Qur'an ini berlangsung syahdu. Pesantren Subulussalam memang paling jago membuat acara semacam ini. Baik acara pembukaan, peringatan hari besar dan kali ini penutupan. Acara diawali dengan senandung beberapa sholawat. Tentu kita dibuat candu oleh suara Mba Wardah dkk dan juga sang qori pelantun Qur'an. Setelah itu acara dimulai dengan dipandu MC yang pastinya berbobot.


Acara diawali dengan pembukaan, pembacaan ayat suci Al Quran, menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mars Subulussalam. Setelah itu acara ini mauidhoh hasanah yang disampaikan langsung oleh pengasuh Ibu Nyai Dr. Hj. Salamah Noorhidayati M. Ag. Beliau berkisah tentang turunnya Al Qur'an, inzal tanzil nuzul. Kata beliau al Qur'an itu turunnya berangsur-angsur tidak glondongan. Itu artinya umat Islam harus memahaminya step by step, adanya proses. Karena al Qur'an itu maknanya seluas samudera maka perlu ada pendekatan khusus dalam memahaminya.


Kata Bunda beresan pada para santri untuk bacalah al Qur'an karena besok kitab suci itu akan mensyafaati yang membacanya. Itu baru perkara membaca, belum yang meneliti dan mengamalkan ajarannya. Hikmah membaca itulah yang menjadi inspirasi pengetahuan dunia. Beliau mengutip Iqbal sang begawan sastra asal Pakistan bahwa bacalah al Qur'an karena sama saja kau bercakap-cakap dengan dengan Tuhan. Maka dari itu di sesi akhir Ramadhan ayo kita terus tingkatkan dalam membaca dan mempelajari al Qur'an baik secara durasi, frekuensi dan keaktifan.


Menambahkan pesan Bunda, Abah Zainal selaku pengasuh yang juga menutup acara. Beliau menyampaikan jika ingin mendapat lailatul qadr maka rajinlah sholat berjamaah. Sama halnya dengan seseorang yang telah melakukan kegiatan positif masa sih tidak dapat kemuliaan tersebut. Sehingga lailatul qadr itu tidak hanya dimaknai berdasarkan fenomena alam melainkan sikap kita sendiri untuk terus taqorrub ila Allah.


Terakhir acara ditutup dengan doa oleh Ustadz Akhmad Arif Hadinata yang luar biasa. Setelah itu penyerahan sertifikat, hadiah dan foto bersama. Lalu santri dan asatidz bermusyafahah serta bersalam-salaman. Akhir kata, jalan-jalan ke pulau Bali, pulangnya membeli buah. Buat para santri selamat beridul fitri, semoga hidup lancar barokah. Sekian dalam salam santri keren.[]


the woks institute l rumah peradaban 3/4/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...