Langsung ke konten utama

Menunggu Keputusan MK Pada Sengketa Pilpres 2024




Woko Utoro

Seperti anak SMA yang bucin-bucin itu kita harap-harap cemas terhadap keputusan MK pada sengketa Pilpres 2024. Mengapa anak SMA? sederhana saja tentu perhelatan pemilu tahun ke tahun selalu saja ada drama. Tentu drama Pilpres kali ini juga tak kalah renyahnya dari drakor yang digandrungi cewek-cewek. Tapi kita sadar drama memang selalu terjadi di segmen apapun dalam hidup termasuk pertarungan politik RI 1.

Sebagai masyarakat awam kita yang apatis pun dipaksa tahu soal sengketa Pilpres. Nampaknya pesta demokrasi pusat memang selalu menarik diikuti terlebih media membuntuti sejak lama. Isu-isu nasional memang begitu gurih untuk digoreng menambah rating. Sehingga dari itu siapa yang tidak tahu soal tuntutan kubu 01 dan 03 terhadap rival utama kubu 02.

Tanpa diberi tahu sebenarnya masyarakat inginnya terima beres. Karena bagi masyarakat sejak dulu rumusnya sama bahwa yang jadi siapapun presidennya mereka tetap menjadi warga sipil. Tapi bagi kalangan terdidik dan pencari kepentingan hasil keputusan MK menjadi sejarah penting. Sebab keputusan sidang yang telah dilangsungkan beberapa waktu itu akan dikenang sepanjang masa. Kita akan disebut negara demokrasi atau tidak tentu salah satu hasilnya di persidangan tersebut.

Bagi yang setuju atau tidak, pro dan kontra pasti ada. Yang jelas semua biasa di alam demokrasi. Cuma kita saja yang akan menilai ke depan. Kedewasaan demokrasi di Indonesia memang selalu mengalami ujian. Terkhusus dalam sengketa Pilpres seperti saat ini. Bagaimana jika segala kemungkinan bisa saja terjadi. Semua tinggal menunggu ketuk palu dari hakim agung MK.

Berbagai pihak tentu mengalami polarisasi. Misalnya banyak tokoh yang melayangkan amicus curiae atau sahabat MK. Tujuannya tentu jelas memberikan pandangan agar hakim memberi keputusan se adil-adilnya. Layangan amicus curiae tentu datang dari berbagai pihak baik individu maupun organisasi. Selain itu di pihak lain ada yang berpendapat jika MK harus menolak hasil gugatan kubu 01 dan 03 dengan alasan tidak memiliki bukti kuat. Bahkan di tubuh KPU sebagai penyelenggara terkesan membela diri dengan alasan sama, tidak terbukti curang.

Tapi apapun itu yang jelas kita akan terus kawal prosesnya. Masyarakat sipil pun memiliki hak untuk tahu mengenai perkembangan persidangan. Terlebih dengan adanya media kita bisa menerka hasilnya. Jika pun misalnya gugatan dari pemohon kubu 01 dan 03 dikabulkan atau termohon KPU atau juga disahkannya kubu 03 toh semua bisa saja terjadi. Semua hasil keputusan ibarat peluang pada mata dadu.

Sejauh mata memandang kita sebagai rakyat biasa hanya membayangkan jika misalnya pemilu diulang tentu akan unik. Atau Gibran didiskualifikasi dan Prabowo mencari wakil yang lain. Atau Pilpres diselenggarakan hanya oleh pasangan 01 dan 03. Tentu jika salah satu dari kemungkinan itu terjadi pastinya gejolak politik berpotensi seru. Stabilitas negara juga berdampak bahkan sampai ke akar rumput. Maklum saja kemenangan atau kekalahan memang tidak mudah. Menang butuh perjuangan dan kalah belum tentu menerima.

Sejak awal tuntutan orang-orang memang menyoroti pada pencalonan Gibran yang prematur secara hukum. Sehingga banyak pihak yang menyayangkan mengapa kekuatan Presiden justru turut cawe-cawe. Tapi apalah daya nasi sudah terlanjur jadi bubur. Kita hanya menanti akan ada kejutan apa lagi selanjutnya. Sebagai penonton yang baik tentu kita hanya berharap semoga negara ini terhindar dari chaos.

Terakhir kita hanya bisa belajar dari sengketa Pilpres ini barangkali demikian cara untuk mendewasakan bangsa Indonesia. Cuma saya hanya mengingat pesan Cak Nun tempo hari bahwa pemenang Pilpres kapan pun itu menggambarkan kondisi masyarakat saat itu juga. Dan hari ini kita bisa merasakan hal yang serupa seperti yang diresahkan banyak orang soal etika.[]

the woks institute l rumah peradaban 22/4/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Bukber PKBM Pilar Papat Panggungrejo

Woko Utoro Dua hari sebelum hari raya saya diundang oleh Pak Toni yang tak lain merupakan founder PKBM Pilar Papat Panggungrejo. Kami kenal begitu singkat yaitu saat beliau narik ojek online Maxim. Ya, Pak Toni adalah driver Maxim sekaligus teman baru saya yang bertemu ketika mengantar teman sepulang dari rumah sakit. Singkat kisah Pak Toni bercerita seputar kegiatan pengelolaan pendidikan khusus anak berkebutuhan. Hingga akhirnya pertemuan kami berlanjut di warung kopi depan Bravo. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga akhirnya sampai di tanggal 8 April saya diajak untuk hadir dalam acara metri atau launching PKBM Pilar Papat. PKBM Pilar Papat merupakan pusat kegiatan belajar menyenangkan yang didirikan Pak Toni bersama beberapa kawannya. PKBM Pilar Papat terletak di Desa Panggungrejo arah Karangduren menuju SMA 1 Tulungagung. Atau selatannya PP Al Istighotsah Panggungrejo. Menurut Pak Toni PKBM Pilar Papat tersebut didirikan atas kesadaran bahwa ada anak-anak yang butuh perhatian khusus.

Catatan Srawung Buku Anak Merdeka di Warkop Ngaji Ngopi

Woko Utoro Saya sangat senang ketika bergabung dalam acara Srawung Buku. Kebetulan saya bertindak sebagai penanggap buku. Sebuah tugas yang tentunya kali pertama ini saya kerjakan. Sebelumnya saya hanya sebagai moderator ataupun narasumber. Tapi ini menjadi pembelajaran buat saya kedepannya. Agar selalu siap dalam berbagai posisi.  Mba Fafa sebagai founder Komunitas Belajar Melati Sinebar sekaligus moderator acara Srawung Buku mengajak saya bersama narasumber lainnya dalam diskusi. Di antaranya penanggap buku pertama yaitu Mba Deni (Founder Komunitas Aku Bisa Menulis (ABM) dan tentunya penulis buku Anak Merdeka Mas Narno dan Mba Ulya.  Malam itu di warung Ngaji Ngopi kami pun berdiskusi begitu gayeng. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya kami bicara seputar buku Anak Merdeka. Buku yang ditulis terutama ketika masa pandemi. Buku yang dalam hemat saya menarik dan perlu terus dikembangkan.  Buku Anak Merdeka berisi catatan pengasuhan anak yang memerdekakan. Pengasuhan