Langsung ke konten utama

Menjadi Tiyang Sepuh Di Hari Lebaran




Woko Utoro

Dalam tradisi masyarakat kita saling membuka pintu maaf disimbolkan dengan dibukanya pintu rumah dan sajian ketupat. Sedangkan tujuan orang meminta maaf adalah karena kesalahan dan keberadaan orang tua. Orang tua atau sesepuh memang menjadi tujuan utama. Dalam etika Jawa tidak peduli usianya berapa jika ia disepuhkan maka semua wajib menghormati. Biasanya orang sepuh akan jadi punjer (titik pusat) di mana yang muda mendatanginya.

Sekilas di masyarakat kita itu unik terutama ketika lebaran. Saat ini dominasi generasi Z begitu tampak. Generasi yang lahir sekitar tahun 1997-2012 mungkin juga telah melahirkan generasi baru. Mereka hilir mudik turut serta dalam momen lebaran. Momen yang tentunya harus terus dilestarikan. Dalam hal ini tiyang sepuh memiliki kewajiban untuk mengarahkan mereka terutama soal tradisi lebaran (saling bermaafan).

Jika generasi muda tidak diarahkan maka tradisi saling memaafkan akan luntur. Generasi milenial, gen x, gen y, gen z, gen alpha, gen sandwich atau apapun istilahnya tentu akan semakin canggung. Tradisi sungkem pada yang tua saja era kini sudah semakin sedikit. Alasan utamanya malu dan tidak terbiasa. Padahal kebiasaan apapun memang sesuai pepatah yaitu bisa karena terbiasa.

Saya tidak bisa membayangkan jika para sesepuh sudah tiada. Lantas akan kepada siapa kita bersandar terutama soal tradisi dan budaya kearifan. Tradisi baik yang sudah mengakar jauh sebelum generasi milenial lahir. Sehingga pergeseran budaya dari baby boomers (lahir tahun 60an) ke gen z harus segera ditanggulangi. Salah satunya adalah pengarahan dan penjelasan dari para sesepuh. Selain itu gen z juga harus diberi tahu dengan rentetan sanak keluarganya. Sebab akhir-akhir ini penyebutan status catur marga seperti bulik, paklik, budhe, pakdhe, kakek nenek, buyut, udeg-udeg, gantung siwur sudah makin dilupa. Mengetahui pohon keluarga sangat penting tujuannya tak lain agar kita tidak tercerabut dari akar masyarakat nan berbudaya.

Tradisi berlebaran utamanya meminta maaf tentu akan mengalami dinamika. Di mana yang muda diterpa malas, jarak, gengsi dan tentunya ego. Sehingga nasihat para sesepuh sangat diperlukan di era modern ini. Era di mana para pemuda lupa bahwa generasi tua ada saatnya berakhir. Maka kadang saya berpikir siapkah kita menjadi sesepuh. Jika ia apakah kita mampu memikul beban budaya yang berat ini. Apakah kita mau belajar akan warisan peradaban nenek moyang tersebut. Atau justru kita abai dan acuh akibat kehidupan kota nan glamor.

Jika kita jadi sesepuh tentunya tidak hanya melek akan masa lalu. Kita juga harus merapal masa depan. Peran sesepuh itu sentral terutama dalam mengendalikan laju pemuda yang cepat dan energik. Selain soal ilmu, dan pengalaman sesepuh juga dituntut untuk arif. Karena kebijaksanaan adalah tanda bahwa seseorang telah dewasa. Tidak peduli berapa umurnya yang jelas kedewasaan belum tentu dimiliki semua orang.

Di sinilah pentingnya peran sesepuh sebab mereka akan menjadi rujukan orang bertanya. Terkhusus di hari lebaran sesepuh adalah jimat yang harus dihormati. Karena saat mereka pergi para penerus hanya bisa pasrah sambil sesenggukan, mengapa kami dulu tidak mendengar nasihat mereka. Ternyata fakta menyebutkan dawuh para sesepuh memang ampuh. Terlebih soal tradisi dan budaya para sesepuh memiliki pola berpikir deduktif alias ilmu titen. Selain itu ilmu laku mereka juga telah diuji oleh berbagai era sejak dulu hingga kini. Sesepuh adalah perlambang masa lalu tapi mempelajari mereka adalah ilmu penghantar masa depan.[]

the woks institute l rumah peradaban 12/4/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...