Woko Utoro
Saya pernah bertemu dengan seorang lelaki paruhbaya ketika tak sengaja duduk di warung kopi. Setelah perkenalan singkat itu kita terlibat diskusi yang asyik. Tanpa waktu lama tema rokok, kopi dan sepakbola membuat kita akrab. Hingga tak terasa orang tersebut cerita panjang lebar seputar perjalanan hidupnya.
Awalnya saya menduga ia lelaki biasa dengan dua anak. Ternyata dugaan saya salah. Justru ia lelaki dengan dua cucu. Usianya nampak masih muda ternyata ia sudah menjadi kakek. Dalam perbincangan hangat itu salah satu hal yang ia sesali hingga kini adalah soal ilmu. Katanya sejak kecil ia sudah akrab dengan uang. Sampai akhirnya ia tidak sempat menimba ilmu.
Walaupun penyesalan tidak merubah apapun yang jelas menimba ilmu di usia tua bagai mengukir di atas air. Yang lebih ia sesali lagi di usia senjanya justru tidak mengerti akan ilmu dasar tentang agama. Misalnya bagaimana cara shalat, wudhu hingga membaca al Qur'an beliau tidak tahu. Katanya entah bagaimana uang tidak lebih berharga dari ilmu. Mungkin jika dulu ia menurut apa yang menjadi pesan bapaknya pasti sejarah hidup akan berbeda. Ia baru sadar ketika sudah tua bahwa bagaimanapun ilmu tetaplah yang utama.
Ilmu akan menuntun seseorang dikala tersesat. Ilmu menjadi penerang di saat gelap. Ilmu jadi petunjuk bagi orang yang tak tahu. Ilmu akan berguna minimal bagi diri sendiri. Karena bagaimanapun juga semua hal ada ilmunya. Ia sendiri sadar katanya jika ingin mendapat kebahagiaan dunia akhirat kuncinya adalah ilmu. Hanya saja karena nafsu sesaat ia lupa mengapa uang lebih menggoda daripada kesempatan belajar di masa lalu.
Penyesalan itu berawal ketika kecil ia sudah senang dengan uang. Katanya dulu jika sudah kenal uang lewat kerja jadi lupa segalanya. Bahkan ia sempat berstatement pada ibunya jika lebih baik mencari uang daripada sekolah. Akhirnya saat inilah ia merasakan jika pendapat nya itu keliru. Mungkin dulu ia senang karena uang selalu digenggaman tapi ternyata fulus tidak selalu mulus. Sehingga benar saja kata pepatah bahwa uang adalah pelayan yang baik tapi majikan yang buruk.
Berdasarkan kisah tersebut kita jadi ingat pesan Buya Hamka bahwa setiap orang butuh uang, butuh kerja tapi tidak karena keduanya kita melupakan kewajiban sebagai manusia. Buya Hamka menegaskan jika harta hanyalah jembatan untuk mencapai tujuan, tetapi hal tersebut bukanlah pangkal keselamatan. Banyak orang yang kisruh karena kepemilikan harta terlebih jika bicara warisan. Maka dari itu ilmu dulu baru harta. Bahkan ilmu justru merupakan harta yang paling berharga setelah akhlak. Tanpa agama manusia buta dan tanpa ilmu manusia lumpuh.
Dari kisah si bapak tersebut kita belajar untuk mengutamakan yang prioritas. Ada hal-hal yang bersifat sementara dan yang tahan lama. Ilmu adalah perhiasan yang menghiasi pemiliknya. Ilmu lebih tahan lama dari harta benda. Ilmu tak akan habis walaupun sering diberikan pada orang. Justru semakin sering dibagi ilmu malah makin berkembang. Sedangkan harta benda apalagi uang sangat mudah habis terlebih di tangan pemboros. Jadi intinya bekerja secukupnya, belajar sebanyaknya.[]
the woks institute l rumah peradaban 25/4/24
Komentar
Posting Komentar