Langsung ke konten utama

Mokel : Narasi Kerapuhan dan Kesabaran




Woko Utoro


Bagi yang tidak terbiasa melakukan ibadah tentu akan terasa berat salah satunya puasa. Puasa secara fisik tentu menahan dari lapar dan dahaga sepanjang hari. Sedangkan secara batin puasa menahan amarah untuk tidak berlaku aniaya. Soal kemampuan menahan al imsak inilah tidak semua orang bisa melakukannya. Sebab puasa diperlukan niat dhohir dan batin.


Bicara puasa memang bukan perkara mudah. Terlebih ketika berhadapan dengan suhu panas yang ekstrim dan atas alasan kebutuhan. Orang bekerja berat misalnya banyak yang tidak mengerjakan puasa. Alasannya sederhana yaitu lemas, terpaksa dan atas nama kebutuhan. Alasan demikian tentu tidak salah akan tetapi Ramadhan sengaja dihadirkan agar kita fokus beribadah. Salah satu fokus ibadah puasa adalah kemampuan mengendalikan hawa nafsu.


Kata Nabi Sholallahu Alaihi Wassalam nafsu itu bukan perkara kecil. Jika tidak pandai-pandai dikendalikan nafsu justru bisa menjerumuskan. Dalam Qasidah Burdah Imam Al Bushiri mengibaratkan nafsu seperti bayi. Jika tidak segera disapih maka bayi akan terus menyusu, tak mau berhenti dan sebaliknya. Bahkan nabi menyebutkan jika pengendalian hawa hafsu lebih berat daripada perang Badar. Lantas apa kunci keberhasilan dalam berpuasa. Jawabannya adalah sabar.


Sabar adalah satu dari sekian cara agar kita mampu lulus berpuasa. Dulu Nabi Muhammad SAW pernah ditanya adakah yang lebih kuat di dunia ini. Jika yang kuat adalah besi maka besi meleleh oleh api. Api bisa padam oleh air. Air kalah dengan gunung. Sekuat apapun tsunami tak akan mampu mendobrak gunung. Karena dalam al Qur'an gunung adalah pasak. Tapi gunung kalah oleh manusia. Sebab sebesar apapun gunung bisa dibelah oleh manusia. Manusia kalah oleh rasa kantuk. Sekuat apapun manusia jika sudah ngantuk tak akan bisa berkilah. Rasa kantuk kalah oleh masalah. Orang tak akan bisa tidur jika sedang dirundung masalah. Tapi sebesar apapun masalah akan takluk dengan kesabaran, begitu kata nabi.


Kesabaran adalah sikap tingkat tinggi yang tidak setiap orang mampu melakukannya. Salah satunya orang tidak sabar ketika menahan lapar. Orang lebih memilih tidak puasa hanya karena takut lapar. Padahal puasa menahan lapar adalah puasanya anak-anak. Puasa yang dalam bahasa Imam Ghazali berstatus awam lebih bawah dari khos atau khususil khos. Lantas jika soal menahan lapar saja kita kalah lalu bagaimana dengan nafsu lain di luar puasa yang terus menghadang. Bukankah puasa hadir sebagai latihan agar manusia menjadi hamba rohani. Hamba yang berorientasi kepada Tuhan. Sebab puasa adalah ibadahKu kata Allah dan memang Allah langsung yang menilainya.[]


the woks institute l rumah peradaban 6/4/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...