Langsung ke konten utama

Hidup Dengan Puisi




Woko Utoro

Saya sebenarnya kurang begitu menaruh perhatian pada puisi. Faktornya jelas karena saya adalah korban nilai jelek saat mengerjakan ujian bahasa Indonesia. Mungkin tidak hanya saya tapi mayoritas orang adalah korban nilai jelek terutama ketika menjawab soal berkaitan dengan puisi. Tapi entah mengapa nama-nama seperti Chairil Anwar, Rendra, Ajip Rosidi, Sutardji Calzoum Bachri hingga Laila S Chudori selalu muncul dalam barisan soal ujian. Dan anehnya pertanyaan yang diulang seperti unsur puisi, rima, pesan moral hingga menanyakan emosi pembaca dll tapi kita tetap selalu salah menjawabnya.

Akhirnya dari itu perjalanan pendidikan berubah drastis. Saya berkesempatan kuliah dan justru sering bersentuhan dengan puisi. Di fase inilah gaya bahasa dan pemikiran mulai terbentuk. Saya justru sering terlibat dalam perayaan baca puisi terutama dulu ketika tergabung dalam Komunitas Pena Ananda Club pimpinan Bunda Tjut Zakiya Anshari. Hingga akhirnya dalam perjalanan itu saya dan puisi menjadi akrab. Saya dan puisi menjadi teman baik bahkan bahasa merestui hubungan kami. Saya dan kata-kata bahkan lebih dari sekedar saudara. Hingga akhirnya puisi lahir dari percintaan kami antara bacaan dan pikiran.

Bicara tentang puisi sebenarnya saya belum memiliki satu pun buku puisi. Saya hanya memiliki satu buku cerpen yang ditulis secara keroyokan. Tapi apapun itu saya berpikir apakah setiap orang boleh menjadi penyair sekalipun mereka belum menulis puisi. Ternyata salah satu sastrawan senior berkata bahwa hanya dengan menulis puisi maka kita bisa disebut penyair. Bahkan yang unik jika soal ini adalah Ebiet G Ade di mana ia harus menanyakan pada Pak Sapardi apakah ia masuk sebagai penyair. Pak Sapardi pun bilang bahwa lewat lagunya yang sastrawi, Ebiet masuk kategori penyair.

Menulis puisi memang susah-susah gampang. Sebab puisi adalah bahasa hati. Puisi dilahirkan dari banyak kondisi salah satunya mencintai dan patah hati. Dua kondisi itulah puisi terasa natural dan ampuh. Saya tentu belajar banyak dari kondisi tersebut. Termasuk belajar pada banyak para penyair yang namanya harum hingga kini. Dan itulah barangkali kesadaran awal untuk lebih dari mengakrabi bahasa dan kata. Bahasa yang dirangkai secara jungkir balik ala Jokpin, penuh rayuan ala Usman Ar Rumy atau religius ala Gus Mus dan Kiai Dzawawi.

Setelah berpikir panjang sebenarnya setiap orang bisa mengarang puisi. Cuma kadang kendala utama selalu macet. Bahasa puisi kadang absurd sekaligus tidak bisa dipahami. Padahal rumusnya tidak demikian. Kata Remi Sylado menulis puisi itu tidak ada pakem khusus harus bagus atau jelek. Semua puisi memiliki pembacanya tersendiri. Jadi jelas bahwa puisi bisa lahir dari tangan siapa saja. Puisi tidak hanya soal estetika, etika atau kedalaman bahasa. Puisi itu bebas ia adalah rangkaian kata canggih yang disusun sebagai bentuk ekspresi diri. Puisi juga merupakan sejurus struktur bahasa yang memotret kehidupan, menangkap perjalanan dan mengawetkan peradaban. Lewat puisi dunia dibungkus dengan begitu indah, magis dan penuh pemberontakan.

Orang yang suka puisi akan cenderung dekat dengan objek kajiannya. Misalnya puisi itu indah bak bunga dan perempuan. Puisi itu pemberontak seperti senapan, peluru dan pikiran. Puisi itu tegas seperti danau, laut dan hujan. Puisi itu segala rupa seperti sosial, agama dan budaya. Orang yang senang menulis puisi cenderung lebih dekat dengan tangis, tawa, angin, hujan, ilalang, laut, kopi, bunga, senyum, rindu, cinta, benci dll. Kita bisa menulis puisi dari ragam peristiwa termasuk suasana batin. Sejak kecil saya mengira jika puisi hanya untuk merayu. Padahal puisi lebih dari itu. Puisi bisa menjelma pembela, wakil atas perasaan atau pemberontak senyap paling ampuh. Bahkan Tuhan sangat senang ketika hambanya berdoa dengan bahasa puisi. Salah satu yang Dia sukai adalah rengekan doa kecil hambanya yang tak kunjung dikabulkan. Pengabulan itulah yang Tuhan anggap sebagai kedekatan.

Jika bicara puisi saya tidak bisa membendungnya. Sebab puisi mengalir bersama darah, menusuk kepada tulang dan nadi hinggap ke semua sendi dan pemikiran. Jadi sebenarnya tulisan ini bisa pendek sekaligus panjang jika kita bicara puisi. Yang terpenting setiap orang bisa menulis kata dengan indah. Syukur-syukur tidak sekadar kata indah tapi berkata untuk tidak menyakiti. Kata Jokpin selamat menunaikan ibadah puisi.[]

the woks institute l rumah peradaban 29/4/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...