Langsung ke konten utama

Menyelami Arti Sebuah Pekerjaan




Woko Utoro 

Kita tahu Allah menciptakan manusia tak lain untuk beribadah kepadanya. Segala sesuatu yang diniatkan untuk mencari ridho Allah bisa bernilai ibadah. Salah satu ibadah di luar ritual wajib seperti shalat, puasa, zakat, haji adalah bekerja. Tentu bekerja di sini dimaksudkan sebagai usaha mempertahankan kehidupan. Misalnya bekerja dalam artian profesi sebagai bentuk ikhtiar mengisi kehidupan.

Di era modern seperti saat ini tentu pekerjaan sangat bervarian macamnya. Bekerja di sektor formal informal sangat banyak tersedia. Asal kita mau bekerja dalam bentuk profesi apapun sangat terbuka lebar. Saking banyaknya pekerjaan sampai-sampai Bang Haji Rhoma Irama membuat lagu dengan judul Seribu Satu Macam. Yang lagu tersebut lahir terinspirasi dari ragam profesi manusia yang ada saat ini.

Dulu orang beranggapan jika pekerjaan itu harus terlihat. Dalam arti fisik yaitu menghabiskan waktu sejak pagi sampai sore, berkeringat hingga sering dilihat orang. Padahal era kekinian kerja bisa apa saja. Apa saja bisa dikerjakan. Bahkan saat ini bekerja tidak seperti anggapan kaum lawas harus fisik dan berkeringat. Saat ini pekerjaan bisa hanya di depan leptop sepanjang hari. Atau bahkan cukup lewat smartphone kita bisa bekerja. Jadi era modern telah menganulir anggapan jika bekerja harus bermakna fisik. Pada saat ini pekerjaan hampir semua berbasis digital, komputasi hingga mesin.

Intinya seperti kata Pram, segala pekerjaan selain mencuri dan merampok adalah mulia. Maka bekerja itu bukan tentang berapa gajinya atau apa statusnya. Bekerja itu soal keikhlasan melakukannya. Jangan mudah menghakimi orang cuma karena dianggap rendahan. Padahal pekerjaan yang dijalani sepenuh hati justru memiliki nilai tinggi. Tidak sedikit pula orang bekerja karena terpaksa atau dipaksa. Akhirnya mereka bekerja dengan tidak sepenuh hati.

Dalam Kitab Ihya Ulumuddin Imam Ghazali mengutip sabda nabi bahwa di akhir zaman banyak lelaki yang stres karena pekerjaan. Hal itu dikarenakan tekanan orang tua, anak dan istri. Intinya laki-laki dipaksa kerja keras tapi tidak disesuaikan kadar kemampuannya. Laki-laki juga dituntut untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin tanpa tahu latar belakangnya. Laki-laki bekerja tidak sesuai dengan bidang yang diampunya. Maka tidak aneh jika laki-laki juga menanggung beban yang tak kalah beratnya.

Pada akhirnya pekerjaan itu bertumpu pada kerelaan hati. Siapa saja bekerja atas dorongan hati maka akan bekerja sepenuh hati. Siapa saja yang bekerja atas dorongan nafsu atau terpaksa maka akan bekerja setangah hati. Ada banyak orang yang pekerjaannya dalam tanda petik gaji kecil, panas-panas hingga berat tapi mereka enjoy melakukannya itu bisa jadi bekerja dengan hati. 

Kita ingat Soesilo Toer (Adik Pram) yang lulusan doktoral di Rusia dalam hidupnya ia memilih menjadi pemulung. Karena bagi Soes pekerjaan memulung adalah sesuai kata hatinya, ia bahagia, ia merdeka. Tidak peduli apa kata orang baginya ini jalan hidup yang tidak sekadar dipilih tapi dijalani. Selain itu kita juga tahu ada orang menggendong jamunya jauh. Ada orang menjajakan jasa sol sepatu. Ada orang menunggu lama di pinggir jalan demi menjual setermos es. Ada orang yang bekerja membersihkan kamar mandi dll. Dan semua mereka dengan kesadaran penuh hanya mengikuti garis takdir.

Kata Gus Baha tidak kebayang misalnya kita jadi di antara mereka. Bisa jadi kita tidak ridho dan alangkah mulianya mereka yang menerima takdirnya. Sehingga penerimaan itulah kunci menjalani pekerjaan dengan rela walaupun aslinya berat. Kata KH Anwar Zahid bekerja dengan keras akan dapat dunia, bekerja dengan cerdas akan dapat akhirat sedangkan bekerja dengan ikhlas akan dapat keduanya.[]

the woks institute l rumah peradaban 27/4/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...