Langsung ke konten utama

Obituari : Jokpin Si Juru Kunci Kata




Woko Utoro

Barangkali setiap penyair selalu memiliki kata-kata terakhir di puisinya. Kata yang menjadi penutup atas sebuah karya sebelum mereka menutup mata. Salah satu kata tersebut adalah Jokpin atau kita kenal dengan Joko Pinurbo. Jokpin adalah manusia sekaligus kata. Salah satu penyair terbaik negeri ini bahkan akan dikenang sebagai legenda karena puisinya yang nakal.

Kabar tersiar seantero negeri ketika penyair mbeling itu berpulang. Padahal kita baru saja riang gembira mensyukuri Timnas U-23 masuk semifinal Piala Asia 2024. Tapi sayang euforia itu cepat tertumpuk duka. Di dunia sastra kita tentu kehilangan Jokpin di usianya yang ke-61 tahun. Padahal Kafe Basabasi sempat memperingati 60 tahun perayaan usianya. Jokpin mungkin beda iman dengan kita tapi perbedaan itulah membuatnya sama. Kita sama-sama disatukan oleh puisinya yang jenaka. Puisi yang diterima sebagai satir namun menggelitik.

Puisi Jokpin memang terkenal memiliki genre tersendiri. Puisinya begitu khas dan bahkan ia tidak dibayangi dengan penyair manapun. Bisa saja Jokpin mengidolakan Chairil Anwar, WS Rendra, Goenawan Mohamad hingga Sapardi Djoko Damono tapi Jokpin tetaplah Jokpin. Ia memiliki madzhab tersendiri dan itulah yang membuat publik sastra tercengang. Alumnus Seminari Mertoyudan tersebut memang sudah gandrung dengan puisi sejak jaman SMA. Maka tidak aneh jika kegemarannya pada puisi berlanjut hingga takdir membawanya menjadi salah satu penyair terbaik negeri ini.

Puisi-puisi Jokpin yang tersebar lewat karyanya seperti: Celana (1999), Pacar Kecilku (2002), Di Bawah Kibaran Sarung (2003), Kekasihku (2004), Pacar Senja (2005), Baju Bulan (2013), Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016), Buku Latihan Tidur (2017), Perjamuan Khong Guan (2020), Sepotong Hati di Angkringan (2021) dll menjadi berkah tersendiri. Pasalnya orang mulai menyukainya dengan alasan puisi Jokpin sederhana tapi mendalam. Tema-temanya keseharian tapi di tangan Jokpin menjelma karya bahasa yang estetik. Terlebih otak atik kata yang elektrolis begitu menandakan kecerdasannya.

Kecerdasan Jokpin bisa kita baca misalnya lewat puisi Malam Rindu, Kamus Kecil, Puisi M hingga, Sajak Balsem Untuk Gus Mus, Anak Seorang Perempuan dan Ibu Yang Tabah. Dari banyaknya puisi tersebut justru Jokpin mampu menghantui pikiran kalangan muda. Sama seperti halnya lelaki paling romantis di Indonesia, Sapardi Djoko Damono. Jokpin juga telah melewati babak baru puisi yang dicintai. Tidak terlalu panjang katanya tapi mendalam maknanya.

Misalnya beberapa penggalan puisi tersebut :

Di bawah alismu hujan berteduh.
Di merah matamu senja berlabuh.

Hidup ini memang asu, anakku.
Kau harus sekeras dan sedingin batu.

Musuh utama lupa ialah kapan. Teman terbaik lupa ialah kapan-kapan. Kapan dan kapan-kapan ternyata sering kompak juga.

Tuhan yang merdu, terimalah kicau burung dalam kepalaku.

Tidak aneh jika puisi-puisi Jokpin yang jenaka lagi kudus itu banyak diapresiasi oleh berbagai kalangan. Jokpin pernah mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Sastra Lontar, Tempo, hingga Kuala Sastra dan SEA Write Award. Mungkin bagi Jokpin penghargaan itu hanya bagian dari bonus atas konsistensinya. Bagi Jokpin menulis puisi ya menulis saja. Dia tidak pernah menargetkan apapun kecuali menulis dengan mengalir.

Pada 27 April 2024 langit sastra Indonesia mendung. Gemuruh tangis dan doa berhembus kencang ketika tahu Jokpin berpulang. Penyair kelahiran Sukabumi itu wafat di RS Panti Rapih setelah lama berjuang dalam sakitnya. Tubuhnya ringkih dan makin kurus. Tapi semua hal tertutupi karena karya besarnya. Jokpin dicintai banyak orang. Puisi-puisi itu akan terus hidup di alam pikiran. Tapi kata banyak orang yang paling kehilangan dari kepergian Jokpin adalah bahasa bukan kita pembaca.

Agung Kunto Anggoro mengatakan yang kehilangan Jokpin itu bukan istri yang menjadi janda atau anak yang menjadi yatim, tapi kata-kata yang kehilangan pengasuhnya. Jokpin memang pengasuh kata-kata atau saya menyebutnya juru kunci, tuan rumah, penunggu setia bahasa. Dan tak ada kebahagiaan lain kata Jokpin selain ke jalan puisi.

Seperti pada umumnya penyair saat tiba hari kematiannya mereka sudah setia dengan kata terakhirnya. Kata yang menunjukkan bahwa mereka adalah mahluk religius. Mahluk yang dari Tuhan mereka berasal. Misalnya Jokpin pernah menulis;

Tubuh,
Pergilah dengan damai
Kalau kau tak tentram lagi
Tinggal di aku
Pergilah dengan santai 

Sedikit atau banyak 
Ada jalan kecil menuju kebun mu
Ada hujan mungil merayap pelan ke liang lahat ku. (Jalan Sunyi, 2007)

Hari-hari ku terbuat dari innalilahi (Juli, 2021)

Selesai sudah tugas ku menulis puisi
Sebab kata-kata sudah besar, sudah selesai studi, dan mereka harus pergi cari kerja sendiri.

Apa cita-cita Jokpin? ia ingin punya rumah. Katanya agar cepat sampai rumah di saat senja lalu ngopi bersama depan jendela.

Hari itu juga adalah momen di mana Jokpin telah selesai melaksanakan ibadah puisinya. Ia juga akan lebih bahagia ketika lebih lama bersama puisi di surga. Ia juga telah usai untuk membangun rumah bersama bapa. Jokpin memang bocah yang diberkati melalui bahasa. Selamat jalan Joko Pinurbo, swargi langgeng.[]

the woks institute l rumah peradaban 28/4/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...