Langsung ke konten utama

Sowan Bunda : Soal Pendidikan Jangan Coba-coba




Woko Utoro

Sore itu saya berkesempatan sowan ke ndalem Bunda Salamah Noorhidayati dan Abah Zainal Abidin pengasuh Pesantren Subulussalam Manggisan Tulungagung. Sowan tersebut tentu dalam rangka halal bi halal pasca Idul Fitri 1445 H. Saya ke sana tentu tidak sendiri melainkan bersama sesama asatidz yaitu Ustadz Wahyu dan Ustadz Deri.

Hal menarik dari sowan tersebut adalah dawuh-dawuh Bunda dan Abah. Beliau memberi pesan-pesan berkaitan dengan pendidikan. Kata Bunda seperti halnya iklan soal pendidikan jangan coba-coba. Mengapa pendidikan bagi anak tidak boleh asal. Karena bagaimanapun juga pendidikan adalah jalan untuk membentuk karakter. Tanpa pendidikan seseorang tak akan tahu siapa dirinya.

Melihat fenomena di masyarakat kata Bunda banyak di antara orang tua itu setengah hati. Atau bahkan abai terhadap pendidikan anak. Alasannya beragam tapi yang paling utama soal biaya. Katanya untuk apa berpendidikan tinggi jika akhirnya jadi kuli. Untuk apa sekolah jika akhirnya di rumah. Banyak biaya terbuang dan justru tidak membuat kaya. Dari beberapa statement tersebut kata Bunda, faktanya banyak juga orang yang anaknya tidak disekolahkan karena eman biaya toh tidak membuat mereka kaya. Ada juga yang sekolah lulus lalu sukses dan jumlahnya tidak sedikit. Terus apakah ada orang semakin miskin hanya karena memondokan anak?

Ada juga orang yang tidak memondokan anak karena buang-buang biaya dan faktanya tidak membuat mereka tambah kaya. Justru sebaliknya banyak orang memondokan anak padahal biayanya tidak sedikit tapi ekonomi mereka tidak stabil. Tapi justru kesadaran akan pendidikan justru terpatri pada mereka dengan ekonomi ke bawah. Kata Bunda jangan dikira kami bisa seperti ini dengan mulus, lancar-lancar. Kami juga dulu berjuang begitu keras apalagi hidup bersama 8 bersaudara. Nyatanya kami bisa kuliah semua dan bahkan anaknya ibu bisa jadi orang semua.

Dari apa yang disampaikan Bunda tersebut saya mengartikan bahwa orang itu harus seimbang. Jangan memiliki pikiran picik yang hanya melihat sesuatu sebelah mata. Terlebih soal pendidikan dan menimba ilmu ini kewajiban. Jadi bukan berpaku pada biaya, kaya miskin tapi kegigihan untuk mau ambil bagian. Insyaallah lewat ilmu dan pendidikan Allah akan selalu membukakan jalan. Hal tersebut senada dengan firman-nya surah al Mujadalah ayat 11.

Setelah pesan Bunda selanjutnya saya catat pesan Abah Zainal. Dalam pesan tersebut kebetulan teman kami konsultasi terkait mengambil pekerjaan di luar Jawa. Kata Abah mumpung masih muda semua bisa dicoba. Walaupun tentu ada faktor lain misalnya keridhoan orang tua. Jika orang tua sudah mengiyakan insyaallah akan ada jalan. Sebab keputusan memang harus dipilih dan ini yang menentukan. Sebab kadang kesempatan memang selalu jarang datang dua kali.

Mensiasati hal tersebut kata Abah sabar saja. Tunggu pasti ada kesempatan lain terlebih jika orang tua memiliki pendapat tersendiri. Kadang pandangan orang tua lebih waskita daripada kita anaknya. Maka dari itu ikuti saja alurnya terutama dalam segala hal misalnya pekerjaan, jodoh dan pendidikan. Terakhir ini juga menjadi pesan menarik dari Bunda yaitu soal jodoh.

Kata Bunda khususnya bagi para ustadz yang masih sendiri berpikir pekerjaan itu perlu tapi mempersiapkan pasangan juga penting. Karena pasangan itu cerminan diri kita yang tak pernah diketahui. Maka dari itu pilih pasangan itu jangan sembarang. Lebih fatal lagi sembarang pilih-pilih. Jika sudah ada, madep mantep insyaallah selalu ada jalan terbaik. Kata beliau jika perlu bantuan Bunda bisa membantu. Di sinikan banyak ustadzah yang muda. Di antara kami pun menjawab, "Nggeh bund siap, tapi sayang rumahnya jauh-jauh". Kami pun lalu tertawa bersama dan sekaligus mengakhiri perjumpaan sore itu. Tak lupa Bunda membawakan kami satu potong es kiko stick dan beberapa buah jeruk Sunkist serta permen coklat. Bunda memang tahu apa yang kami mau. haha.

the woks institute l rumah peradaban 19/4/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...