Langsung ke konten utama

Madin Masuk Sekolah




Woko Utoro

Senang rasanya saya terlibat dalam momen bersejarah. Kali ini masih tentang dunia pendidikan. Dunia yang sejak lama saya minati sebagai sebuah jalan hidup. Entah seberapa besar tantangan ke depan yang jelas saya begitu bahagia. Bayangkan jika orang sudah ditemukan kebahagiaannya sekalipun menurut orang lain tidak masuk akal tapi bagi kita semua berjalan normal saja.

Kali ini kita akan bicara program madin alias madrasah diniyyah yang kebetulan tidak ada uangnya. Dalam hal ini saya sering diguyoni teman bahwa mengajar itu tidak membuat kaya. Tapi kata saya tidak apa-apa yang penting kaya itu bukan berdasar materi tapi kebermanfaatan hidup. Atas dasar itulah saya merasa senang jika di hadapkan dengan siswa/santri. Karena bagi saya mengajar adalah sesuatu yang menyenangkan terlebih ini program madin di sekolah formal.

Mengapa bisa madin masuk sekolah negeri? Awalnya kepala sekolah merasa resah tentang pengetahuan agama siswanya. Terlebih jika wacana mapel agama dihilangkan di sekolah. Keprihatinan tersebut bertambah ketika banyak siswa yang tidak mengerti alif ba ta, cara wudhu, sholat hingga berakhlak. Maka dari itu kepala sekolah langsung merespon kondisi tersebut dengan menghubungi para ustadz khususnya Pak Munir. Hingga akhirnya terprogram lah kegiatan mingguan madin sekolah.

Kata Pak Susilo salah satu koordinator madin mengatakan bahwa ini tugas dan tanggungjawab kita semua. Siapa lagi yang mau peduli terhadap perkembangan keagamaan anak jika bukan kita. Maka dari itu pada program madin ini kita ro'an alias kerja bakti. Tujuannya demi lestarinya ajaran ahlussunah wal jamaah ala pesantren. Hanya orang-orang ikhlas dan mau berjuang yang dapat mewujudkannya. Semoga saja dengan begitu akan menjadi ladang amal bagi semuanya.

Seperti halnya di kampus UIN SATU, program madin masuk kampus atas respon di mana masih banyak mahasiswa yang tidak bisa menggaji. Hal ini pun terjadi dalam berbagai jenjang pendidikan mulai dari dasar hingga perguruan tinggi. Maka dari itu program madin menjadi alternatif di mana pesantren masuk ke lingkungan formal. Salah satu cara memasukinya yaitu lewat pengajaran kitab fikih. Setelah itu secara perlahan kita masukkan muatan lain seperti tauhid, akhlak, ubudiyah dan muamalah.

Fenomena minimnya pengetahuan agama di sekolah umum tentu menyeluruh. Hampir di berbagai lembaga sesuai jenjangnya juga merasakan hal yang sama. Tidak hanya soal fikih ibadah, soal penanaman budi pekerti saja masih jauh. Bahkan hal itu terjadi juga di sekolah berbasis agama kata Ustadz Hamid. Diperparah lagi kata H Ulum, guru di sekolah umum pengetahuan agamanya juga minim. Maka dari itu saya sepakat dengan pendapat Ustadz Saiful bahwa fenomena ini adalah ladang subur di mana pembelajaran madin ala pesantren harus digalakkan.

Terakhir di tengah hangatnya perbincangan itu H Rohmad memimpin doa dengan harapan program madin ini berjalan lancar dan barokah. Karena bagaimanapun juga ini tugas kita bersama. Tugas di mana Allah langsung yang akan menilai bahwa hal itu sebagai jariyah. Tak ada lain kecuali keikhlasan dan keistikimahan. Semua karena demi menggapai keridhoan Allah SWT.[]




Salam hormat asatidz Madina Sangata :)

the woks institute l rumah peradaban 20/4/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Bukber PKBM Pilar Papat Panggungrejo

Woko Utoro Dua hari sebelum hari raya saya diundang oleh Pak Toni yang tak lain merupakan founder PKBM Pilar Papat Panggungrejo. Kami kenal begitu singkat yaitu saat beliau narik ojek online Maxim. Ya, Pak Toni adalah driver Maxim sekaligus teman baru saya yang bertemu ketika mengantar teman sepulang dari rumah sakit. Singkat kisah Pak Toni bercerita seputar kegiatan pengelolaan pendidikan khusus anak berkebutuhan. Hingga akhirnya pertemuan kami berlanjut di warung kopi depan Bravo. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga akhirnya sampai di tanggal 8 April saya diajak untuk hadir dalam acara metri atau launching PKBM Pilar Papat. PKBM Pilar Papat merupakan pusat kegiatan belajar menyenangkan yang didirikan Pak Toni bersama beberapa kawannya. PKBM Pilar Papat terletak di Desa Panggungrejo arah Karangduren menuju SMA 1 Tulungagung. Atau selatannya PP Al Istighotsah Panggungrejo. Menurut Pak Toni PKBM Pilar Papat tersebut didirikan atas kesadaran bahwa ada anak-anak yang butuh perhatian khusus.

Catatan Srawung Buku Anak Merdeka di Warkop Ngaji Ngopi

Woko Utoro Saya sangat senang ketika bergabung dalam acara Srawung Buku. Kebetulan saya bertindak sebagai penanggap buku. Sebuah tugas yang tentunya kali pertama ini saya kerjakan. Sebelumnya saya hanya sebagai moderator ataupun narasumber. Tapi ini menjadi pembelajaran buat saya kedepannya. Agar selalu siap dalam berbagai posisi.  Mba Fafa sebagai founder Komunitas Belajar Melati Sinebar sekaligus moderator acara Srawung Buku mengajak saya bersama narasumber lainnya dalam diskusi. Di antaranya penanggap buku pertama yaitu Mba Deni (Founder Komunitas Aku Bisa Menulis (ABM) dan tentunya penulis buku Anak Merdeka Mas Narno dan Mba Ulya.  Malam itu di warung Ngaji Ngopi kami pun berdiskusi begitu gayeng. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya kami bicara seputar buku Anak Merdeka. Buku yang ditulis terutama ketika masa pandemi. Buku yang dalam hemat saya menarik dan perlu terus dikembangkan.  Buku Anak Merdeka berisi catatan pengasuhan anak yang memerdekakan. Pengasuhan