Langsung ke konten utama

Rihlah Gurah Kediri 2024




Woko Utoro

Pagi itu saya mengantar teman sebut saja Daveed SMVLL untuk penelitian di sebuah situs masjid peninggalan tempo dulu. Di suasana masih lebaran kami berangkat kurang lebih jam 9 siang. Jalanan begitu ramai dan cuaca lumayan panas. Tapi kami bergegas menuju Gurah Kediri. Rute yang dilalui yaitu lewat jalur timur kurang lebih Udanawu, Kandat, Ngasem hingga Gurah. Sampai di sana sekitar pukul 11:30.

Selama perjalanan kami begitu menikmati. Walaupun berpanas-panasan tapi suasana jalan menjelang Kecamatan Gurah begitu sejuk. Terlebih ketika kami melewati monumen SLG yang ikonik. Sebuah monumen yang menandakan perjuangan dan kisah Sri Aji Jayabaya, raja Kediri yang melegenda itu. Yang padahal dalam banyak diskusi SLG justru lebih mirip Arc de Triomphe Paris Prancis. Entah apa yang dipikirkan pemerintah Kediri saat itu lewat bangunan kubus tersebut. Yang jelas SLG berhasil menarik masyarakat untuk berkunjung ke sana.

Singkat kisah kami sampai di lokasi penelitian. Sebelum sampai di sana kami menyusun strategi terlebih dahulu khusus list daftar pertanyaan wawancara. Sambil rokokan kami juga menikmati segelas es kelapa muda sembari menunggu adzan dhuhur berkumandang. Tidak hanya itu kami juga berbincang seputar kisah asmara. Kata teman ku sama seperti pekerjaan, asmara pun demikian butuh ketelatenan. Hanya kesetiaan dan kepastian yang membuat hubungan tetap berjalan. Sebesar apapun badai jika kedua pasangan saling menguatkan maka badai cepat berlalu.

Selepas berbincang asmara, pekerjaan dan kehidupan kami pun bergegas menuju masjid. Kami ikut shalat di sana dan pastinya berburu narasumber yaitu imam masjid, sesepuh, serta salah satu dari keturunan pendiri masjid. Ketika kami temui narsum tersebut ternyata mudah ditemui. Tapi sayang mereka tidak ingin diwawancarai dengan alasan sibuk. Mereka hanya merekomendasikan untuk melihat YouTube atau beberapa catatan di internet. Padahal data di internet sangat minim sekali. Tentu kami pun begitu kecewa dengan sikap narsum tersebut. Tapi apalah daya akhirnya kami hanya mendokumentasikan beberapa foto narsum dan bangunan masjid.

Kami memfoto semua sudut yang ada di masjid. Foto tersebut meliputi mastaka, mihrab, tiang, menara hingga bedug. Bahkan terdapat juga pohon sawo kecil dan bangunan lama seperti kamar santri. Termasuk plakat bertuliskan bahasa Belanda bertarikh 1936 M. Termasuk juga toilet tempo dulu dengan angka di depannya 1957.

Setelah itu kami rokokan untuk sekedar beristirahat sambil menyantap pentol daging yang istimewa. Setelah itu kami sempatkan ziarah ke makam pendiri masjid yang letaknya di depan mihrab luar area masjid. Setelah semua usai barulah kami langsung tancap gas karena nampaknya sore itu hujan akan turun. Ternyata benar saja memasuki wilayah Kandat kami harus menepi dua kali karena hujan begitu deras. Tak lupa pula pada saat pulang kami sempatkan mampir ke warung nasi untuk makan siang ditemani segelas es teh.

Singkat kisah kami pun nekat untuk terus berjalan. Kami menembus hujan deras dan hawa dingin. Kami pulang dengan potong kompas lewat Kras, Bendosari hingga sampai Wonodadi. Akhirnya perjalanan singkat itu tiba di pondok pada pukul 17:35 tepat kumandang adzan magrib.

the woks institute l rumah peradaban 22/4/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Bukber PKBM Pilar Papat Panggungrejo

Woko Utoro Dua hari sebelum hari raya saya diundang oleh Pak Toni yang tak lain merupakan founder PKBM Pilar Papat Panggungrejo. Kami kenal begitu singkat yaitu saat beliau narik ojek online Maxim. Ya, Pak Toni adalah driver Maxim sekaligus teman baru saya yang bertemu ketika mengantar teman sepulang dari rumah sakit. Singkat kisah Pak Toni bercerita seputar kegiatan pengelolaan pendidikan khusus anak berkebutuhan. Hingga akhirnya pertemuan kami berlanjut di warung kopi depan Bravo. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga akhirnya sampai di tanggal 8 April saya diajak untuk hadir dalam acara metri atau launching PKBM Pilar Papat. PKBM Pilar Papat merupakan pusat kegiatan belajar menyenangkan yang didirikan Pak Toni bersama beberapa kawannya. PKBM Pilar Papat terletak di Desa Panggungrejo arah Karangduren menuju SMA 1 Tulungagung. Atau selatannya PP Al Istighotsah Panggungrejo. Menurut Pak Toni PKBM Pilar Papat tersebut didirikan atas kesadaran bahwa ada anak-anak yang butuh perhatian khusus.

Catatan Srawung Buku Anak Merdeka di Warkop Ngaji Ngopi

Woko Utoro Saya sangat senang ketika bergabung dalam acara Srawung Buku. Kebetulan saya bertindak sebagai penanggap buku. Sebuah tugas yang tentunya kali pertama ini saya kerjakan. Sebelumnya saya hanya sebagai moderator ataupun narasumber. Tapi ini menjadi pembelajaran buat saya kedepannya. Agar selalu siap dalam berbagai posisi.  Mba Fafa sebagai founder Komunitas Belajar Melati Sinebar sekaligus moderator acara Srawung Buku mengajak saya bersama narasumber lainnya dalam diskusi. Di antaranya penanggap buku pertama yaitu Mba Deni (Founder Komunitas Aku Bisa Menulis (ABM) dan tentunya penulis buku Anak Merdeka Mas Narno dan Mba Ulya.  Malam itu di warung Ngaji Ngopi kami pun berdiskusi begitu gayeng. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya kami bicara seputar buku Anak Merdeka. Buku yang ditulis terutama ketika masa pandemi. Buku yang dalam hemat saya menarik dan perlu terus dikembangkan.  Buku Anak Merdeka berisi catatan pengasuhan anak yang memerdekakan. Pengasuhan