Woko Utoro
Pagi itu saya mengantar teman sebut saja Daveed SMVLL untuk penelitian di sebuah situs masjid peninggalan tempo dulu. Di suasana masih lebaran kami berangkat kurang lebih jam 9 siang. Jalanan begitu ramai dan cuaca lumayan panas. Tapi kami bergegas menuju Gurah Kediri. Rute yang dilalui yaitu lewat jalur timur kurang lebih Udanawu, Kandat, Ngasem hingga Gurah. Sampai di sana sekitar pukul 11:30.
Selama perjalanan kami begitu menikmati. Walaupun berpanas-panasan tapi suasana jalan menjelang Kecamatan Gurah begitu sejuk. Terlebih ketika kami melewati monumen SLG yang ikonik. Sebuah monumen yang menandakan perjuangan dan kisah Sri Aji Jayabaya, raja Kediri yang melegenda itu. Yang padahal dalam banyak diskusi SLG justru lebih mirip Arc de Triomphe Paris Prancis. Entah apa yang dipikirkan pemerintah Kediri saat itu lewat bangunan kubus tersebut. Yang jelas SLG berhasil menarik masyarakat untuk berkunjung ke sana.
Singkat kisah kami sampai di lokasi penelitian. Sebelum sampai di sana kami menyusun strategi terlebih dahulu khusus list daftar pertanyaan wawancara. Sambil rokokan kami juga menikmati segelas es kelapa muda sembari menunggu adzan dhuhur berkumandang. Tidak hanya itu kami juga berbincang seputar kisah asmara. Kata teman ku sama seperti pekerjaan, asmara pun demikian butuh ketelatenan. Hanya kesetiaan dan kepastian yang membuat hubungan tetap berjalan. Sebesar apapun badai jika kedua pasangan saling menguatkan maka badai cepat berlalu.
Selepas berbincang asmara, pekerjaan dan kehidupan kami pun bergegas menuju masjid. Kami ikut shalat di sana dan pastinya berburu narasumber yaitu imam masjid, sesepuh, serta salah satu dari keturunan pendiri masjid. Ketika kami temui narsum tersebut ternyata mudah ditemui. Tapi sayang mereka tidak ingin diwawancarai dengan alasan sibuk. Mereka hanya merekomendasikan untuk melihat YouTube atau beberapa catatan di internet. Padahal data di internet sangat minim sekali. Tentu kami pun begitu kecewa dengan sikap narsum tersebut. Tapi apalah daya akhirnya kami hanya mendokumentasikan beberapa foto narsum dan bangunan masjid.
Kami memfoto semua sudut yang ada di masjid. Foto tersebut meliputi mastaka, mihrab, tiang, menara hingga bedug. Bahkan terdapat juga pohon sawo kecil dan bangunan lama seperti kamar santri. Termasuk plakat bertuliskan bahasa Belanda bertarikh 1936 M. Termasuk juga toilet tempo dulu dengan angka di depannya 1957.
Setelah itu kami rokokan untuk sekedar beristirahat sambil menyantap pentol daging yang istimewa. Setelah itu kami sempatkan ziarah ke makam pendiri masjid yang letaknya di depan mihrab luar area masjid. Setelah semua usai barulah kami langsung tancap gas karena nampaknya sore itu hujan akan turun. Ternyata benar saja memasuki wilayah Kandat kami harus menepi dua kali karena hujan begitu deras. Tak lupa pula pada saat pulang kami sempatkan mampir ke warung nasi untuk makan siang ditemani segelas es teh.
Singkat kisah kami pun nekat untuk terus berjalan. Kami menembus hujan deras dan hawa dingin. Kami pulang dengan potong kompas lewat Kras, Bendosari hingga sampai Wonodadi. Akhirnya perjalanan singkat itu tiba di pondok pada pukul 17:35 tepat kumandang adzan magrib.
the woks institute l rumah peradaban 22/4/24
Komentar
Posting Komentar